Senin,
28 Mei 2007, ba’da zuhur, Aula Masjid al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta
penuh sesak dipadati hadirin. Kursi yang disediakan panitia tidak muat
menampung luberan peserta. Terpaksa sebagiannya harus duduk di lantai.
Hari itu, FUI bersama Hizbut Tahrir Indonesia, Yayasan al-Azhar dan MUI
menyelenggarakan Tablig Akbar, “Peringatan Tragedi Pembantaian Pesantren Wali Songo Poso”.
Sejumlah
tokoh menyampaikan orasinya. Di antaranya, Ketua MUI KH Kholil Ridwan,
Ketua DDII Zahir Khan, Ketua FUI Mashadi dan Jubir HTI HM Ismail
Yusanto. Mendengarkan orasi yang disampaikan oleh para tokoh dengan
penuh semangat dan menyaksikan film dokumenter pembantaian Muslim Poso
tahun 2000 dan 2001, tak pelak membuat suasana forum menjadi penuh
dengan aura kesedihan dan kemarahan. Hadirin makin terkesima saat
mendengar kesaksian 3 korban pembantaian yang selamat: Ilham, mantan
santri Wali Songo yang pesantrennya habis dibakar serta seluruh santri
dan kyai di sana tewas dibunuh; serta dua janda yang suaminya juga tewas
dibantai, yaitu Nur Wahyuni dan Sofiyah.
Ilham
adalah satu-satunya santri Pesantren Wali Songo yang selamat sehingga
ia bisa menceritakan secara persis detil peristiwa tragis itu. Ketika
itu, katanya, seluruh penghuni pesantren diangkut dengan truk dan secara
bergiliran, begitu turun, langsung dibunuh di tepi sungai. Bagaimana
Ilham bisa selamat? Berulang dia menyebut ini adalah karunia Allah.
Betapa tidak, saat dia turun dari truk, dia melihat orang-orang Kristen
pambantai, yang berkerumun membawa pedang dan senapan otomatis yang
sebelumnya telah memenggal leher puluhan orang, tampak bagaikan patung.
Lalu, seketika turun dari truk, dia langsung meloncat ke sungai. Barulah
orang-orang yang sebelumnya tampak membisu itu berteriak bahwa yang
lolos. Sontak Ilham langsung dihujani tembakan dari senapan otomatis.
Dia bergegas menyelam sedalam-dalamnya untuk menghindari tembakan. Tak
kuat terlalu lama menyelam, ia muncul sebentar untuk ambil napas, namun
ditembaki lagi. Tak terhindar, beberapa bagian tubuh terluka. Ia
menyelam lagi. Dengan menahan rasa pedih dan perih di sekujur tubuh, ia
terus berenang hingga selamat.
Kepentingan Politik dan Bisnis
Mengapa
orang Kristen membantai Muslim Poso? Suripto SH, anggota DPR dari PKS,
menyebut bahwa konflik Poso awalnya dilatarbelakangi oleh masalah
kesukuan dan kecemburuan sosial; akhirnya berkembang menjadi masalah
politik. Mereka, orang-orang Kristen di Poso, ingin menegakkan satu
aturan, yakni aturan Kristen, khususnya di daerah Tentena, dan ingin
menjadikannya sebagai ibukota dari Kabupaten Pamona Raya yang murni
mereka kelola (Sabili, 30/11/06).
Keinginan
untuk membentuk sebuah kabupaten khusus bagi orang Kristen juga
berkait-berkelindan dengan keinginan para kapitalis domestik, juga
kapitalis global melalui korporasi-korporasi raksasanya untuk menguasai
kekayaan sumberdaya alam yang memang sangat melimpah di daerah itu.
Sejumlah perusahaan besar bahkan sudah lama beroperasi di sana. Hal ini
diungkap oleh Arianto Sangaji, Ketua Yayasan Tanah Merdeka Poso (Kompas, 12/09/06). Menurutnya, sejak pertengahan 1990-an PT
Inco, anak perusahaan Inco Ltd asal Kanada, misalnya, sudah
mengeksploitasi biji nikel laterit di Bungku, wilayah Poso yang telah
dimekarkan menjadi Kabupaten Morowali sejak 2000. Tahun 1998, menjelang
pecah kekerasan Poso, PT Mandar Uli Mineral, anak perusahaan Rio Tinto,
korporasi transnasional Anglo-Australia, juga mengantongi kontrak-karya
untuk menambang emas di atas wilayah sekitar 550.000 hektar, yang
sebagian besar arealnya termasuk wilayah Kabupaten Poso.
Pertengahan
Juni 2006, Rio Tinto mengumumkan rencana penambangan nikel dekat areal
kontrak karya PT Inco di Morowali. Seorang eksekutif perusahaan
menyatakan akan menanam modal sebesar 1 miliar dolar AS, mempekerjakan
5.000 buruh, dan memproduksi nikel 46.000 metrik ton setiap tahun. Sang eksekutif menyatakannya setelah bertemu Wapres Jusuf Kalla (Reuter, 20/6/2006).
Di Teluk Tolo, khususnya di wilayah Kabupaten Morowali, terdapat areal joint operation body Pertamina dan Medco E & P Sulawesi
untuk eksploitasi minyak. Perusahaan telah memproduksi minyak mentah
dari Lapangan Tiaka sejak 31 Juli 2005. Pengapalan perdana produksi
minyak mentah berlangsung 12 Januari 2006, dengan mengirim 75.000 barel
ke kilang Pertamina Plaju (Kompas, 13/1/2006).
PT
Bukaka Hydropower Engineering & Consulting Company, perusahaan
milik keluarga Jusuf Kalla, sejak pertengahan 2005, juga hadir di Poso.
Perusahaan membangun sebuah pembangkit listrik tenaga air (PLTA)
berkapasitas 740 MW, dengan memanfaatkan aliran Sungai Poso. PLTA ini
hendak menyuplai kebutuhan industri di Sulawesi Selatan.
Bagi korporasi-korporasi raksasa, kekerasan Poso seperti blessing in disguise (berkah terselubung). Pasukan-pasukan tempur organik yang ditempatkan di sana
dan sekitarnya, dengan dalih meredam kekerasan, justru “berdwifungsi”
sebagai pelindung modal. Dua kompi pasukan dari TNI dan Brimob
ditempatkan di Morowali, dekat wilayah konsesi PT Inco, Rio Tinto,
Pertamina dan Medco, dan perkebunan sawit milik Guthrie, Malaysia.
Lokasi proyek PLTA Poso terletak persis di antara Markas Yonif
714/Sintuwu Maroso dan markas kompi senapan C Yonif tersebut, dalam
jarak antarmarkas sekitar 70 kilometer.
Selama ini publik hanya melihat kekerasan berdarah di sana,
tanpa perhatian terhadap konflik-konflik struktural menyusul kehadiran
korporasi-korporasi raksasa. Isu kekerasan struktural, karena
pengambilan lahan petani secara paksa atau setengah paksa, tenggelam
oleh kasus-kasus penembakan, peledakan bom, pembunuhan, dan pembakaran.
Padahal modal leluasa bergerak ke Poso karena tersedianya “jalan tol”,
yakni kekerasan bermasker konflik horisontal.
Tentu,
ini bukan saja khas Poso. Bercermin dari Aceh dan Papua, kekerasan juga
duduk berdampingan dengan ekspansi modal. Poso merupakan bagian kecil
dari gambar besar hubungan antara konflik horisontal, kepentingan
politik dan ekspansi modal.
Jadi,
siapa yang bakal paling menikmati gurihnya kekayaan sumberdaya alam di
kawasan Poso? Tentu pemilik korporasi besar itu. Berikutnya adalah
orang-orang Kristen. Jika pengusiran dan pembantaian Muslim itu berhasil
mengubah peta demografi dari yang semula daerah itu dihuni oleh
mayoritas Muslim menjadi mayoritas Kristen, maka cita-cita mereka untuk
membentuk Kabupaten Pamona Raya akan mudah tercapai. Bergandengan tangan
dengan korporasi raksasa tadi, mereka dengan leluasa pula bisa turut
menikmati lezatnya kekayaan sumberdaya alam di sana. Tak peduli meski itu harus diraih dengan anyirnya darah, perihnya luka dan terkoyaknya harkat dan martabat Muslim di sana. Biadab memang!
No comments:
Post a Comment