Tuesday, January 1, 2013

Biografi Billy Boen Young on Top

Billy Boen adalah entrepreneur muda asal Indonesia. Billy lahir di Jakarta tanggal 13 Agustus 1978. Pada usia yang relatif muda, Billy (panggilan Billy Boen) telah menjadi pimpinan di beberapa perusahaan. Pada 2005, ketika usianya baru 26 tahun, Billy dinobatkan menjadi General Manager PT Oakley Indonesia.
billy-boen

Biografi Billy Boen Young on Top dari Biografi Web

Ia menjadi GM Oakley termuda di dunia kala itu. Pada akhir 2006, bersama Rudhy Buntaram, pemilik Optik Seis, Billy kemudian mendirikan Jakarta International Management (JIM) dan Jakarta International Consulting (JIC) pada akhir 2009. Sekarang, Billy yang merupakan lulusan Utah State University dan State University of West Georgia di Amerika Serikat ini adalah partner dan Presiden Direktur Rolling Stone Cafe Jakarta.
April 2009, Billy menulis buku berjudul “Young On Top” yang diterbitkan oleh GagasMedia. Di 5 bulan pertama, buku itu pun dicetak ulang sebanyak lima kali. Di dalam buku tersebut, Billy menuliskan 30 kunci sukses di usia muda.

Karier Billy Boen

Billy Boen menyelesaikan pendidikan S-1 bidang manajemen dari Utah State University (USU), Amerika Serikat, hanya dalam waktu 2 tahun 8 bulan, mulai 1996 hingga 1999. Dalam periode itu juga, Billy menjadi presiden PERMIAS (Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat) di kampusnya. Ia juga bergabung dengan persatuan mahasiswa di USU yang bernama Sigma Chi. Billy meneruskan studinya ke State University of West Georgia untuk gelar MBA. Studi S-2 ini ia tempuh dalam tempo setahun dengan predikat kelulusan cum laude, di usia 22 tahun. Seusai lulus, ia memutuskan untuk pulang kembali ke Indonesia.
Dengan prestasi seperti ini, sepulang ke Tanah Air dan bergabung dengan PT Berca Sportindo, distributor tunggal Nike di Indonesia. Posisi awalnya sebagai Asisten Manajer Lini Produk Divisi Footwear. Setahun kemudian, ia naik pangkat menjadi manajer di divisi yang sama. Setengah tahun berikutnya, ia dipromosikan menjadi manajer (yang lebih senior) untuk semua divisi: footwear, apparel, aksesori, dan perlengkapan. Setahun berselang, ia menempati pos Manajer Penjualan & Pemasaran Nike (korporat).
Tahun 2005, Billy keluar PT Berca Sportindo dan bergabung dengan Oakley Indonesia yang berkantor pusat di Bali. Saat itulah, Billy yang kala itu berusia 26 tahun diberi posisi sebagai General Manajer (GM). Hanya dalam tiga tahun, Billy berhasil menaikkan penjualan Oakley hingga tiga kali lipat. Karyawannya pun bertambah, dari 80 menjadi 240 orang. Pada 2008, saat berusia 29 tahun, ia digaet Grup MRA (Mugi Rekso Abadi), dengan jabatan sebagai Kadiv. F&B. saat itu, Billy membawahi tiga entitas bisnis milik Grup MRA, yakni Hard Rock Cafe Jakarta, Hard Rock Cafe Bali, dan Haagen-Dazs, dengan total 500 karyawan.
Bersama Rudhy Buntaram, pemilik Optik Seis, Billy mendirikan Jakarta International Management (JIM) pada Desember 2006 dan Jakarta International Consulting (JIC) pada Desember 2009. JIM bertujuan melayani semua kebutuhan di industri fashion. JIM sendiri memiliki beberapa divisi, yakni: agensi model (JIM Models), manajemen artis (JIM Artists), fashion event organizer (JIM Events), fotografi (JIM Photography), fashion consulting (JIM-DARE Fashion), dan JIM-F performing academy (bekerja sama dengan FashionTV Indonesia). sementara, JIC merupakan konsultan di bidang pemasaran, khususnya pengembangan merek. Dalam menjalankan usahanya, JIC bekerja sama dan bermitra dengan dengan perusahaan lain.

Pemikiran Billy Boen

Banyak orang yang memiliki pemikiran negatif atas sebuah kesuksesan. Bagi Billy, salah satu sebabnya adalah karena ketika mereka sudah berusaha, mereka masih juga belum berhasil. Inilah yang membuat mereka berpikir bahwa keberuntungan belum ada di pihaknya. Ketika mereka melihat ada orang yang mereka anggap berhasil, mereka berpikir bahwa keberhasilan itu semata-mata mereka capai karena adanya unsur keberuntungan (luck). Bagi Billy, sukses adalah ketika seseorang mampu meraih, mencapai, melakukan apa yang ingin dia raih, capai, dan lakukan.
Billy sadar bahwa pencapaiannya juga tentunya ditunjang unsur keberuntungan. Akan tetapi, bagi Billy, keberuntungan itu adalah faktor ‘X’, sebuah faktor yang berada di luar kontrol manusia. Seseorang tidak bisa membuat dirinya beruntung. Baginya, tidaklah masuk akal bila ada seseorang berbicara bahwa ia ingin memenangkan undian esok hari. Daripada berharap untuk beruntung, akan lebih baik kalau seseorang segera bertindak (Just Perform). Artinya, tidak perlu memperdulikan hal-hal yang memang tidak perlu, fokus, dan melakukan semua hal dengan sebaik-baiknya. “Forget about luck and do your best what is within your control!”, begitulah yang sering diucapkannya.
Bagi Billy, daripada berharap untuk beruntung, lebih baik energi dalam tubuh seseorang dihabiskan untuk berpikir dan melakukan segala sesuatunya sebaik mungkin. Kalaupun hasilnya tidak sesuai harapan, setidaknya seseorang akan merasa sedikit puas karena ia telah berusaha untuk melakukannya sebaik mungkin. Baginya, kegagalan dari hasil performa terbaik akan lebih ringan rasanya dibandingkan dengan kegagalan akibat performa yang ala kadarnya.

“Young on Top”

April 2009, ketika usianya 30 tahun, Billy menerbitkan sebuah buku berjudul “Young On Top” yang diterbitkan oleh penerbit GagasMedia. Buku ini ia selesaikan dalam waktu dua setengah tahun. Secara umum, buku ini ditujukan kepada anak-anak muda untuk bisa meraih kesuksesan terutama di dalam pekerjaannya atau di dunia bisnis. Dalam buku tersebut, Billy memberikan 30 kunci sukses di usia muda. Beberapa contoh diantaranya adalah untuk menjadi seseorang yang terbuka, berpikiran positif, tepat waktu, tidak pernah putus asa, dan selalu bertindak lebih dari biasanya.

Pada bagian pertama buku Young on Top, Billy menjelaskan tentang arti pentingnya membangun motivasi, keyakinan, dan optimis dalam menjalani hidup. Segala kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan harus berkualitas dan mencapai hasil yang maksimal. Bagian kedua, Billy membahas bagaimana cara mencapai kesuksesan di usia muda dengan senantiasa mengembangkan kemampuan diri untuk menguasai secara detail bidang pekerjaan yang ditekuni. Di bagian ketiga, Billy memberikan beberapa tips menarik mengenai pemikiran-pemikiran penting yang harus dimiliki seseorang ketika ingin meraih perjalanan karier yang cemerlang. Bagi Billy, seseorang harus selalu aktif dalam mengasah kemampuan, mengedepankan dan mengembangkan sikap tidak berpuas diri dalam menggali ilmu pengetahuan dan informasi, serta tetap rendah hati.

Agama Billy Boen

Banyak yang bertanya, Agama om Billy apa? Agama Billy Boen adalah katolik. Mari kita simak langsung tweet beliau tentang agamanya :
Ada yg nanya agama sy apa. Mom,Sy,Anak: Katolik. Dad,Sister: Kristen. Istri Budha. Kakak+keluarganya: Islam :) I LOVE my family
sumber : https://twitter.com/#!/BillyBoen/status/57061150793277440
Semoga Biografi Billy Boen ini menginspirasi pembaca untuk meraih sukses di usia muda seperti Om Billy.

Saturday, December 29, 2012

STRAIGHT EDGE

Straight Edge adalah sebuah gaya hidup, filosofi dan pergerakan anak muda yang menganut anti penggunaan narkoba, penggunaan minuman beralkohol, merokok dan hubungan sex bebas (casual sex), walaupun pergerakan garis keras yang lebih dalam mereka menghidari penggunaan obat secara menyeluruh (termasuk penggunaan secara medis) dan mereka mempercayai bahwa sex tidak untuk berganti-ganti pasangan.
Straight edge hanyalah sebuah motivasi hidup untuk tidak merusak diri sendiri dengan mengonsumsi zat-zat/ hal-hal yang dianggap berbahaya untuk diri sendiri dan penyikapannya kembali kepada kontrol individu. Gaya hidup straight edge mencoba untuk memberikan alternatif baru di scene punk/ hardcore yang sangat identik dengan kebiasaan mabuk dan kerusuhan.
Banyak orang yang mengklaim bahwa dirinya seorang penganut faham ini karena mereka ingin mengontrol kehidupan mereka, berontak dari budaya penggunaan narkoba, menghindari diri berhubungan dengan narkoba, mereka menyaksikan efek negatif dari penggunaan narkoba dalam keluarga atau teman-teman, atau bahkan bisa pula untuk membedakan diri (Alfansuri 2007). Filosofi utama yang dibawakan oleh penganut faham ini adalah penggunaan narkoba terhadap lingkungan sosial dan krisis moral yang bisa menyebabkan hancurnya rumah tangga, bisnis dan khususnya kehidupan anak-anak remaja.
Ide tentang straight edge ini sebenarnya sudah ada di dalam lagu-lagu band protopunk tahun 70-an yakni The Modern Lovers. Namun istilah Straight Edge dicetuskan oleh band Minor Threat, band ini disebut sebagai dasar gaya hidup ini, dalam sebuah lagu mereka yang berjudul Straight Edge.

Kisah Tragis Di Balik Pembantaian Muslim Poso

Senin, 28 Mei 2007, ba’da zuhur, Aula Masjid al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta penuh sesak dipadati hadirin. Kursi yang disediakan panitia tidak muat menampung luberan peserta. Terpaksa sebagiannya harus duduk di lantai. Hari itu, FUI bersama Hizbut Tahrir Indonesia, Yayasan al-Azhar dan MUI menyelenggarakan  Tablig Akbar, “Peringatan Tragedi Pembantaian Pesantren Wali Songo Poso”.
Sejumlah tokoh menyampaikan orasinya. Di antaranya, Ketua MUI KH Kholil Ridwan, Ketua DDII Zahir Khan, Ketua FUI Mashadi dan Jubir HTI HM Ismail Yusanto. Mendengarkan orasi yang disampaikan oleh para tokoh dengan penuh semangat dan menyaksikan film dokumenter pembantaian Muslim Poso tahun 2000 dan 2001, tak pelak membuat suasana forum menjadi penuh dengan aura kesedihan dan kemarahan. Hadirin makin terkesima saat mendengar kesaksian 3 korban pembantaian yang selamat: Ilham, mantan santri Wali Songo yang pesantrennya habis dibakar serta seluruh santri dan kyai di sana tewas dibunuh; serta dua janda yang suaminya juga tewas dibantai, yaitu Nur Wahyuni dan Sofiyah.
Ilham adalah satu-satunya santri Pesantren Wali Songo yang selamat sehingga ia bisa menceritakan secara persis detil peristiwa tragis itu. Ketika itu, katanya, seluruh penghuni pesantren diangkut dengan truk dan secara bergiliran, begitu turun, langsung dibunuh di tepi sungai. Bagaimana Ilham bisa selamat? Berulang dia menyebut ini adalah karunia Allah. Betapa tidak, saat dia turun dari truk, dia melihat orang-orang Kristen pambantai, yang berkerumun membawa pedang dan senapan otomatis yang sebelumnya telah memenggal leher puluhan orang, tampak bagaikan patung. Lalu, seketika turun dari truk, dia langsung meloncat ke sungai. Barulah orang-orang yang sebelumnya tampak membisu itu berteriak bahwa yang lolos. Sontak Ilham langsung dihujani tembakan dari senapan otomatis. Dia bergegas menyelam sedalam-dalamnya untuk menghindari tembakan. Tak kuat terlalu lama menyelam, ia muncul sebentar untuk ambil napas, namun ditembaki lagi. Tak terhindar, beberapa bagian tubuh terluka. Ia menyelam lagi. Dengan menahan rasa pedih dan perih di sekujur tubuh, ia terus berenang hingga selamat.
Kepentingan Politik dan Bisnis
Mengapa orang Kristen membantai Muslim Poso? Suripto SH, anggota DPR dari PKS, menyebut bahwa konflik Poso awalnya dilatarbelakangi oleh masalah kesukuan dan kecemburuan sosial; akhirnya berkembang menjadi masalah politik. Mereka, orang-orang Kristen di Poso, ingin menegakkan satu aturan, yakni aturan Kristen, khususnya di daerah Tentena, dan ingin menjadikannya sebagai ibukota dari Kabupaten Pamona Raya yang murni mereka kelola (Sabili, 30/11/06).
Keinginan untuk membentuk sebuah kabupaten khusus bagi orang Kristen juga berkait-berkelindan dengan keinginan para kapitalis domestik, juga kapitalis global melalui korporasi-korporasi raksasanya untuk menguasai kekayaan sumberdaya alam yang memang sangat melimpah di daerah itu. Sejumlah perusahaan besar bahkan sudah lama beroperasi di sana. Hal ini diungkap oleh Arianto Sangaji, Ketua Yayasan Tanah Merdeka Poso (Kompas, 12/09/06). Menurutnya, sejak pertengahan 1990-an  PT Inco, anak perusahaan Inco Ltd asal Kanada, misalnya, sudah mengeksploitasi biji nikel laterit di Bungku, wilayah Poso yang telah dimekarkan menjadi Kabupaten Morowali sejak 2000. Tahun 1998, menjelang pecah kekerasan Poso, PT Mandar Uli Mineral, anak perusahaan Rio Tinto, korporasi transnasional Anglo-Australia, juga mengantongi kontrak-karya untuk menambang emas di atas wilayah sekitar 550.000 hektar, yang sebagian besar arealnya termasuk wilayah Kabupaten Poso.
Pertengahan Juni 2006, Rio Tinto mengumumkan rencana penambangan nikel dekat areal kontrak karya PT Inco di Morowali. Seorang eksekutif perusahaan menyatakan akan menanam modal sebesar 1 miliar dolar AS, mempekerjakan 5.000 buruh, dan memproduksi nikel 46.000 metrik ton setiap tahun. Sang eksekutif menyatakannya setelah bertemu Wapres Jusuf Kalla (Reuter, 20/6/2006).
Di Teluk Tolo, khususnya di wilayah Kabupaten Morowali, terdapat areal joint operation body Pertamina dan Medco E & P Sulawesi untuk eksploitasi minyak. Perusahaan telah memproduksi minyak mentah dari Lapangan Tiaka sejak 31 Juli 2005. Pengapalan perdana produksi minyak mentah berlangsung 12 Januari 2006, dengan mengirim 75.000 barel ke kilang Pertamina Plaju (Kompas, 13/1/2006).
PT Bukaka Hydropower Engineering & Consulting Company, perusahaan milik keluarga Jusuf Kalla, sejak pertengahan 2005, juga hadir di Poso. Perusahaan membangun sebuah pembangkit listrik tenaga air (PLTA) berkapasitas 740 MW, dengan memanfaatkan aliran Sungai Poso. PLTA ini hendak menyuplai kebutuhan industri di Sulawesi Selatan.
Bagi korporasi-korporasi raksasa, kekerasan Poso seperti blessing in disguise (berkah terselubung). Pasukan-pasukan tempur organik yang ditempatkan di sana dan sekitarnya, dengan dalih meredam kekerasan, justru “berdwifungsi” sebagai pelindung modal. Dua kompi pasukan dari TNI dan Brimob ditempatkan di Morowali, dekat wilayah konsesi PT Inco, Rio Tinto, Pertamina dan Medco, dan perkebunan sawit milik Guthrie, Malaysia. Lokasi proyek PLTA Poso terletak persis di antara Markas Yonif 714/Sintuwu Maroso dan markas kompi senapan C Yonif tersebut, dalam jarak antarmarkas sekitar 70 kilometer.
Selama ini publik hanya melihat kekerasan berdarah di sana, tanpa perhatian terhadap konflik-konflik struktural menyusul kehadiran korporasi-korporasi raksasa. Isu kekerasan struktural, karena pengambilan lahan petani secara paksa atau setengah paksa, tenggelam oleh kasus-kasus penembakan, peledakan bom, pembunuhan, dan pembakaran. Padahal modal leluasa bergerak ke Poso karena tersedianya “jalan tol”, yakni kekerasan bermasker konflik horisontal.
Tentu, ini bukan saja khas Poso. Bercermin dari Aceh dan Papua, kekerasan juga duduk berdampingan dengan ekspansi modal. Poso merupakan bagian kecil dari gambar besar hubungan antara konflik horisontal, kepentingan politik dan ekspansi modal.
Jadi, siapa yang bakal paling menikmati gurihnya kekayaan sumberdaya alam di kawasan Poso? Tentu pemilik korporasi besar itu. Berikutnya adalah orang-orang Kristen. Jika pengusiran dan pembantaian Muslim itu berhasil mengubah peta demografi dari yang semula daerah itu dihuni oleh mayoritas Muslim menjadi mayoritas Kristen, maka cita-cita mereka untuk membentuk Kabupaten Pamona Raya akan mudah tercapai. Bergandengan tangan dengan korporasi raksasa tadi, mereka dengan leluasa pula bisa turut menikmati lezatnya kekayaan sumberdaya alam di sana. Tak peduli meski itu harus diraih dengan anyirnya darah, perihnya luka dan terkoyaknya harkat dan martabat Muslim di sana. Biadab memang!
http://goo.gl/BGVrJP

MY Motto

My photo
giving amenity to all visitor.

Total Pageviews