Tuesday, December 11, 2012

KOMUNISME MUSUH ISLAM SEPANJANG SEJARAH

A. Pendahuluan

B. Latar Belakang Sejarahnya

C. Pandangan Hidupnya

D. Sikapnya Terhadap Islam dan Kaum Muslimin

E. Sikap Muslim Terhadap Komunisme
1.      Sikap Dasar
2.      Bidang Aqidah
3.      Bidang Sosial
4.      Bidang Politik
5.      Sikap Permusuhan

F. Penutup

G. Kesimpulan

Lampiran:
Keputusan Kongres Alim Ulama Seluruh Indonesia di Palembang, September 1957

Sampul:
Gambar diambil dari Tabloid OPOSISI no. 92 tahun II, 08-14 Mei 2000 dan dokumentasi PINTAR

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pendahuluan

Berdasarkan fakta yang ada, dewasa ini telah bangkit kembali gerakan Komunisme (Marxisme-Leninisme) di tanah air, semenjak 35 tahun yang lalu dinyatakan terlarang. Kader-kader muda revolusioner binaan sisa-sisa G30S/PKI dan kader-kader muda intelektual Katholik-Jesuit, yang tersebar di berbagai aparat sipil dan militer, ormas dan orpol, berbagai LSM, karena adanya persamaan ideologi yakni Marxis-Leninisme bekerja sama menyusun kekuatan untuk melahirkan "revolusi sosial" dalam mewujudkan negara  Komunis.

Kaum intelektual muda Muslim dan ulama-ulama Islam dewasa ini, karena keterbatasan ilmunya tentang Marxisme-Leninisme/Komunsme, banyak yang tergelincir sehingga menjadi pejuang ajaran Marxisme-Leninisme/Komunisme tanpa sadar. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya hal-hal yang demikian, maka kami sengaja menyusun tulisan ini secara ilmiah, filosofis, syar'i dan historis bahwa Komunisme (Marxisme-Leninisme) dalam segala dimensinya bertentangan dengan Islam dan senantiasa memusuhi umat Islam sepanjang sejarah.

Segala koreksi dan sanggahan terhadap tulisan ini senantiasa kami terima dengan tangan terbuka. Semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi umat Islam, dan menjadi amal shaleh bagi kami sehingga ganjaran pahala senantiasa kami harapkan dari sisi Allah SWT.

Latar Belakang Sejarahnya

Berbicara tentang Komunisme tentunya kita akan membicarakan pencetus dan pendiri dari ideologi tersebut, menurut pandangan umum yang hidup di dunia sekarang ini, yaitu tidak lain adalah Karl Marx yang dilahirkan pada tanggal 5 Mei 1818 di Trier Jerman dari keluarga Yahudi. Tetapi menurut Freemasonry, organisasi Yahudi di bawah tanah, pencetusnya tidak lain ialah sekelompok golongan cahaya (Freemasonry), yang telah diputuskan di dalam Kongres Internasionalnya di Amerika Serikat. Karl Marx, begitu kata Freemasonry, sebenarnya hanya orang bayaran dari Freemasonry, yang dimintakan untuk menyusun teori komunis dan atheisme; dengan imbalan semua biaya penghidupan Karl Marx dijamin sepenuhnya oleh Freemasonry.

Kebenaran pengakuan Freemasonry ini, akan terlihat dengan jelas nanti dalam kita membahas tentang teori-teori yang dikemukakan oleh Karl Marx, bahwa ternyata ia memang tidak menguasai sepenuhnya teori-teori yang ia ambil dari berbagai konsepsi-konsepsi filsafat yang berasal dari orang-orang non Marxis. Karl Marx hanya menyusun atau lebih tepatnya menyetel konsepsi-konsepsi filsafat yang dia pungut dari orang-orang non Marxis dalam suatu teori yang dia namakan "Komunisme".

Menurut beberapa penulis biografi menduga bahwa Karl Marx mengalami suatu krisis keagamaan ketika ia berusia l6 atau 17 tahun. Sebagai bukti, mereka menunjukkan sepucuk surat yang ditulis oleh ayah Marx; di dalam surat itu, dia memberi tahu Marx bahwa agama dapat dianggap sebagai dasar daripada kebaikan moral dan menyata­kan bahwa tidak ada jeleknya untuk percaya kepada Tuhan, karena juga sangat banyak orang besar yang percaya kepada Tuhan.

Ayah Marx adalah seorang theis, seorang Yahudi yang liberal dan pengagum filsuf- filsuf "Pencerahan" dari Perancis, tetapi kemudian ia beralih agama menjadi seorang Kristen Protestan, pengikut Luther. Dia juga menyuruh isteri dan anak-anaknya dibaptis dalam cara Protestan. Di sini, masalahnya bukanlah apakah hal tersebut peralihan agama yang sesungguhnya atau bukan. Dalam kedudukan seperti ayah Marx adalah "tepat dan menguntungkan" untuk menjadi seorang anggota dari agama negara.

Setelah pembaptisan, kekristenan ayah Marx tidaklah lebih baik dari Keyahudiannya sebelumnya. Bagi anaknya Marx, yang patuh dan berbakti kepada ayahnya, jelaslah bahwa oportunisme orang tuanya tersebut tidak menimbulkan rasa hormat kepada agama Kristen. Tambahan pula, baik di dalam surat-suratnya yang banyak itu, maupun di dalam buku-bukunya, Karl Marx tidak pernah menyinggung tentang krisis keagamaan tersebut dan juga tidak pernah menunjukkan rasa simpati kepada para pemeluk agama.

Para pencetus teori komunisme tentu saja menolak semua agama, karena agama-agama tersebut menurut keyakinannya semuanya mempunyai tanggung jawab yang sama atas pengasingan spiritual manusia. Tetapi Marx benar-benar membenci agama Kristen. Dia, seperti halnya banyak kaum atheis, sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk melihat agama Kristen merupakan perkembangan yang paling pesat dari kesadaran religius yang secara logis dapat diikuti hanya dengan penolakan terhadap semua agama.

Akhimya kita akan berkesim­pulan bahwa pada diri Marx tertanam kebencian pribadi terhadap agama Kristen, yang hampir sama dengan yang terdapat pada diri Freud. Freud sendiri juga seorang Yahudi yang hidup di dalam suatu dunia yang seolah-oleh dunia Kristen dan di dalam dunia tersebut dia merasa terasing. Baik Marx maupun Freud menolak agama Kristen atas nama ilmu pengetahuan; tetapi di dalam penolakan tersebut jelas sekali terdapat unsur emosional.

Bila sosialisme Barat pada abad ke-XIX dari awal mulanya benar-­benar atheis, sebagai tampaknya, karena adanya kenyataan bahwa diantara tokoh-tokoh utamanya tersebut banyak kaum intelektual Yahudi. Untuk memahami hal ini tidaklah perlu membayangkan adanya "semacam komplotan orang-orang Yahudi" yang sengaja dibentuk untuk menentang agama Kristen".1

Di sini kelihatan bahwa Ignace Lepp tidak ingin adanya satu "image" bahwa "atheisme" lahir, karena dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Tetapi satu fakta yang tak dapat diingkari ternyata gerakan Yahudi Zionisme dengan Freemasonry-nya --sebagaimana kita telah ungkap­kan di muka-- menyatakan bahwa atheisme memang sengaja dilahirkan dan dibesarkan oleh gerakan mereka.

Salah satu bukti, dapat di­kemukakan kembali surat yang ditulis oleh Pike, tokoh utama Freemasonry, tertanggal 10 Agustus 1871, yang antara lain menulis: "Kita akan memberikan kebebasan sebebas-bebasnya gerakan-gerakan atheisme dan gerakan-gerakan nihilis. Kita akan berusaha mencipta­kan suatu tragedi total untuk umat manusia, di mana akan ternyata dengan jelas kekejaman yang tidak putus-putusnya bagi setiap bangsa, sebagai hasil dari atheisme yang mutlak".

Selanjutnya Ignace menulis: "Dalam usaha mereka untuk mencari identitas sosial, kaum intelektual Yahudi tersebut secara sadar menen­tang 'pengasingan religius'. Dengan sengaja mereka menentang agama Kristen yang pemeluk-pemeluknya mengasingkan mereka serta memaksa mereka merasa seperti orang-orang asing di tanah air mereka sendiri. Rasa sakit hati memainkan peranan yang penting di dalam hampir semua atheisme orang-orang Yahudi yang saya ketahui, dan di dalam atheisme Karl Marx peranan rasa sakit tersebut mungkin benar-benar dominan."

Sebagai seorang keturunan Yahudi dan sebagai seorang yang merasa terhina oleh peralihan agama yang bersifat oportunistis yang dilakukan ayahnya, Karl Marx melalui suatu proses yang sangat dikenal di dalam psikologi dewasa ini, mengidentifikasikan dirinya dengan ma­nusia pada umumnya. Marx melihat bahwa kemanusiaan juga diren­dahkan dan diasingkan dari identitasnya yang asli.

Di negara Prusia (Jerman) --yang pemah diagungkan Hegel-- yang disebut negara Kristen, pengasingan religius dengan sendirinya bagi Marx yang masih muda tampak sebagai sumber dari segala bentuk pengasingan lainnya. Pada masa selanjutnya, dia berusaha menggerakkan massa dalam suatu perjuangan yang tujuan utamanya adalah penghapusan eko­nomi kapitalis. Tetapi dari surat-suratnya tampak dengan jelas bahwa Marx menekankan pada pengasingan ekonomi, karena pada waktu itu massa masih belum cukup sadar untuk dilibatkan dalam suatu perjua­ngan menentang pengasingan yang mendasar, yaitu pengasingan re­ligius.

Sedikit demi sedikit, doktrin filosofis Marx mengenai materialisme historis mulai muncul. Dia melihat adanya super-struktur ideologis dari kondisi-kondisi ekonomi tertentu di dalam setiap agama. Oleh karena itu dia berharap bahwa di dalam penghapusan sistem ekonomi kapitalis, revolusi kaum proletar akan memberikan pukulan yang mematikan kepada agama Kristen. Karena rasa bencinya kepada agama, setiap kali terjadi pertentangan antara gerja dan negara, Marx selalu ber­pihak kepada negara, walaupun dia sangat merendahkan Negara Prusia.

Kita sama sekali tidak akan mampu memahami psikologi atheisme modern bila kita lupa bahwa --menurut mereka-- atheisme modern berasal dari keinginan manusia yang telah mencapai suatu tingkat kesadaran yang tinggi akan individualitasnya, untuk mematahkan rantai yang tampaknya membelenggu kemerdekaan dan kemuliaannya. Di dalam tulisan-tulisannya yang awal, dengan antusias dan kekaguman, Marx berbicara tentang Prometeus yang meskipun terantai pada batu karang tetap menghina dewa-dewa. Marx menganggap Prometeus sebagai lambang manusia yang penuh tanggung-jawab atas pencipta­annya dan yang berani menentang dewa-dewa yang akan merampas tanggung jawab tersebut dari dirinya. Prometeus berseru: "Aku jauh lebih senang terikat pada batu karang ini daripada menjadi hamba yang patuh kepada Zeus sang Bapak"!

Lambat-laun atheisme Marxis secara eksplisit menjadi semakin bersifat politis dan mengaku bersifat ilmiah. Tetapi melalui penyelidik­an yang teliti, tidaklah sulit untuk melihat bahwa atheisme modern merupakan suatu kelanjutan dari pemberontakan, seperti yang dilaku­kan Prometeus, oleh seorang pengikut Hegel yang masih muda. Hegel, Strauss, Bauer dan terutama Feuerbach, hanyalah membantu men­dorong Marx dan secara rasional membantu merumuskan pemberon­takannya terhadap Tuhan, terutama terhadap Tuhan orang-orang Kristen. Hal ini merupakan suatu pemberontakan yang akar-akarnya tersembunyi di dalam alam bawah sadar anak seorang Yahudi Jerman literal yang dalam usahanya yang keliru, untuk menutupi identitas Yahudinya, telah menjadi seorang Kristen.2

Siapa Prometeus? Dalam mitos Yunani ia adalah salah seorang dewa. Dengan maksud untuk memberikan jasa kepada manusia, ia mengkhianati dewa lain. Pada suatu malam selagi semua dewa ter­tidur; ia mencuri api ketuhanan dan menyerahkannya kepada manusia. Ketika dewa-dewa lain mengetahui hal ini mereka mengikatnya dengan rantai. Mereka gelisah karena manusia memiliki api syurgawi, sebab mereka ingin agar manusia selamanya tetap berada dalam kegelapan dan kelemahan yang hina, tidak boleh naik sampai kepada kedudukan yang dekat dengan para malaikat.

Marx yang menganut kepercayaan Prometeus dan idea masyarakat Prometeus dari sosiologi humanistik, dan dipengaruhi oleh Saint Simon, kemudian juga oleh Prodhon, dalam hal ini telah mewarisi pandangan religius dari mitos Yunani, persis seperti yang mereka lakukan. Iame­nyamaratakan hubungan antara manusia dengan Tuhan dalam agama Yunani dengan hubungan yang terdapat dalam agama lain; tidak me­nyadari bahwa pandangan agama Timur sama sekali bertentangan dengan ini. Mereka memimpikan Tuhan yang bersimpati pada manusia. Tidak seperti Tuhan yang ada dalam agama Yunani, yang memandang manusia sebagai saingan dan menghadapinya dengan rasa iri dan dengki, yang harus dilayani dengan ketakutan. Risalah agama Timur berdasar pada kenaikan manusia dari bumi ke syurga; dari tingkat jasmani dan hewani ke arah sifat malaikat.3

Ketika Marx menyatakan: "Saya merasa jijik terhadap Tuhan," kita harus memikirkan pilihan susunan katanya. Dalam prakata untuk suatu risalah filosofis, suatu risalah yang membicarakan dewa-dewa, pemi­lihan kata "jijik" adalah sesuatu yang tidak wajar. Hal ini mengungkap­kan emosi bukan suatu hal yang filosofis dan ilmiah. Seseorang harus menyelidiki akar dari reaksi semacam itu dalam kehidupan pribadi Marx. Dalam kekecewaan cinta yang disebabkan oleh pendeta-­pendeta.

Mari kita perhatikan komentar selanjutnya: "Bukti yang sebenar­nya harus mempunyai karakter yang berlawanan…,karena alam tidak mempunyai tatanan yang benar, maka Tuhan ada…, karena adanya dunia yang tidak dipahami…, maka Tuhan ada; dengan kata lain irrasionalitas adalah dasar bagi eksistensi Tuhan." Di dalam ungkapan ini tampak logika yang membingungkan yang menjadikan pandangan yang awam sebagai kriteria pemikiran keagamaan. Padahal pende­katan keagamaan awam selalu mencari Tuhan di luar hukum alam dan rasio dan dalam kejadian-kejadian yang tak terpahamkan; ia mencari bukti-bukti dalam jalannya peristiwa yang luar biasa, dan dalam sumber yang tidak ilmiah dan tidak alamiah.

Sebaliknya, kitab-kitab tua, khususnya Al-Qur'an, telah memberikan contoh rasional tentang tauhid atas dasar alam, kebiasaan, hukum kehidupan yang konstan dan sifat kehidupan dan peristiwa alam se­mesta yang teratur dan dapat dimengerti. Kitab-kitab suci ini menganggap hal-hal tersebut sebagai pengesahan obyektif terhadap eksistensi Tuhan yang memerintah atas alam.

Kitab suci Al-Qur'an mengecam keras kaum materialis, dengan pertanyaan: "Apakah kamu mengira tatanan dunia sia-sia?"

Al-Qur'an memberi jawaban: "Tidak Kami ciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antaranya dengan sia-sia" (28:27).

Lebih lanjut, Allah tidak menggerakkan peristiwa-­peristiwa dunia tanpa sebab-sebab yang layak. Semuanya bersandar kokoh pada Sunnah Allah (hukum Allah) di dunia: "Tak akan kamu dapati perubahan dalam Sunnah Allah" (35:43).

Segala sesuatu dalam alam, manusia dan sejarah mempunyai kwantitas yang tertentu dan kadar yang pasti. Bukti yang paling penting untuk eksistensi Tuhan yang terdapat dalam Al-Qur'an, menunjukkan eksistensi tatanan rasional dan intelegensia dalam alam.

Pada segi ini dapat kita lihat bagaimana Marx, seperti pelajar abad pertengahan yang tegar atau seorang pemeras politik, mengambil pandangan ajaran pemikiran lawan yang sangat tidak dikuasainya, paling kasar dan menyimpang sebagai bulan-butanan untuk diserang dan dihina.

Satu-satunya analisis langsung yang dikeluarkan oleh Marx yang berhubungan dengan asal agama adalah pernyataannya yang terkenal: "Manusia adalah pencipta agama, bukan agama pencipta manusia ". Di sinipun ia hanya mengulang pemyataan Ludwig Feuerbach ( 1804-­1872); ia berusaha mendapatkan penghargaan dengan cara mengganti kata "Tuhan" dengan kata "agama" dan menjadikannya tak bermakna atau sekurang-kurangnya kabur artinya. (Apa maksudnya: "Agama bukanlah pencipta manusia?" Pernahkah seorangmengatakan: "Agama adalah pencipta manusia?")

Kemudian Marx mengatakan: "Agama memberikan sesuatu bentuk kesadaran diri untuk mereka yang belum mencapai penguasaan diri, atau mereka yang telah kehilangan dirinya lagi. Meskipun demikian, agama adalah realisasi suprarasional dari nasib manusia, sebab nasib manusia tidak mempunyai eksistensi nyata. Konsekwensinya, memerangi agama berarti memerangi suatu dunia yang di dalamnya adalah esensi spiritual. Musibah agama mengungkapkan penderitaan sebenarnya, sekaligus memberikan suatu protes terhadapnya. Agama adalah keluh-kesah dari wujud yang tiada berdaya, hati dari dunia yang tak berhati, semangat dari makhluq yang tak bersemangat. Ia (agama) adalah candu bagi masyarakat. Mengecam agama tak lain berarti mengecam lautan air mata, yang di atasnya agama menjadi lingkaran sinar".

Di manakah, dalam semua ini, pemikiran yang lebih menyerupai ke dalam filsafat daripada sekadar tehnik kesusasteraan? Apabila perspektif yang pada dasarnya milik Feuerbach dikesampingkan; apakah yang tinggal dari Marx kecuali gaya bahasa?

Apabila ia mengambil nada yang serius dan rasional, ia semata-­mata mengulang thema Feuerbach yang memerangi pengaruh pengasingan dari agama dengan cara yang tak jelas: "Mengecam agama dapat membebaskan manusia dari kesalahan, sehingga ia dapat berpikir, bertindak dan menciptakan realitasnya sendiri sebagai se­orang melihat melalui kesalahannya sendiri, menguasai inteleknya sendiri ., sehingga dapat berputar di sekeliling dirinya, yaitu di sekeliling mataharinya yang sebenamya".

Apakah ini bukan "humanisme atheis" yang itu-itu juga, yaitu dasar dari pendapat Feuerbach? Agama adalah… suatu wujud suprarasional dari nasib (takdir) manusia. Aga artinya ini?4

Memang, pengaruh Ludwig Feuerbach adalah merupakan hal yang paling penting dan menentukan yang dipergunakan oleh Marx dalam mengeritik agama. Kita yang hidup lebih dari satu abad setelah revolusi para pengikut Hegel mendapati kepercayaan manusia semacam itu, yang menganggap telah membebaskan manusia dari "tirani Tuhan", adalah sangat naif. Untuk memahami hal tersebut, kita harus mencoba untuk merekonstruksi suasana intelektual di Prusia setelah Perang Napoleon. Kaum intelektual tidak mampu menyokong obskurantisme dari gerakan kontra revolusi sehingga mereka secara melampaui batas memuja Revolusi Perancis sebagai suatu hal dan lambang kemerdekaan dan pencerahan. Karena para tiran mengaku bahwa mereka mempunyai "hak kudus", adalah perlu untuk memerangi paham tentang kekudusan tersebut agar dapat membebaskan manusia dari tirani.

Lebih dari para pendahulunya, Feuerbach berusaha merumuskan suatu filsafat yang benar-benar manusiawi (dalam anggapannya). Menurut Feuerbach, manusia adalah satu-satunya obyek yang berharga bagi filsafat. Oleh karena itu, dalam memahami segala sesuatu, termasuk agama, kita harus bertitik tolak pada manusia. Agama tidak dapat mempunyai realitas di luar kesadaran pribadi manusia, dan satu-satunya obyek dari agama adalah manusia sendiri.

Feuerbach adalah orang pertama yang berbicara tentang "peng­asingan religius", suatu ungkapan yang telah menjadi sangat terkenal karena propaganda Marxis. Ia berpendapat bahwa manusia bukanlah semata-mata makhluq individual, melainkan pada saat yang sama juga makhluq generik. Tegasnya, di dalam diri seseorang terdapat gambaran dari seluruh umat manusia. Tetapi dalam hal ini manusia merupakan kemanusiaan hanya secara virtual, karena dia mengasingkan sebagian besar dari dirinya atas nama suatu Tuhan yang imaginer. Oleh karena itu agama merupaka keseluruhan hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, dan dengan keberadaannya yang secara generik adalah terasing. Sampai saat ini, manusia masih belum berhasil mengumpul­kan keseluruhan hubungan tersebut, tetapi dia mempunyai pengertian tentang semacam hubungan-hubungan itu yang dia proyeksikan dalam suatu realitas khayali yang disebut Tuhan. Menurut Feuerbach dan para pengikutnya, tugas filsafat mencakup pengajaran kepada manusia untuk memperoleh kembali bagian terbesar dari diri mereka yang telah diasingkan oleh agama. Manusia harus segera menyadari dirinya sendiri.

Dalam "The Essence of Christianity", Feuerbach menulis: "Tugas kita adalah untuk membuktikan bahwa perbedaan antara hal yang manusiawi dan yang kudus adalah bersifat khayali, bahwa perbedaan tersebut tak lebih hanyalah merupakan perbedaan antara hakikat kemanusiaan, yakni sifat manusiawi, dan manusia itu sendiri. Jadi, obyek dan doktrin agama Kristen tak lain dan tak bukan adalah manusia". Bagi Feuerbach, seperti juga bagi Bauer, Tuhan orang Kristen mewakili "bentuk yang paling tinggi dari gambaran fantasi yang oleh manusia dijadikan dengan unsur-unsur keberadaannya sendiri. Tuhan adalah hasil suatu proses abstraksi panjang, contoh yang paling sempurna dari bermacam-macam dewa, yang dimiliki oleh berbagai suku bangsa dan peradaban".

Bagi sebagian di antara kita yang tidak lagi berpikir berdasarkan kategori-kaiegori idealisme Hegel, hal yang paling mengherankan adalah bahwa manusia dapat percaya dengan sungguh-sungguh bahwa dia diciptakan oleh suatu Tuhan yang diciptakannya sendiri. Kalau betul teori Feuerbach ini benar, hal itu pasti telah lama lenyap.

Feuerbach akhirnya menyimpulkan: "Bila kekudusan alam me­rupakan dasar dari semua agama; termasuk agama Kristen, maka kekudusan manusia harus rnerupakan tujuan akhir… Titik tolak yang penting dalam sejarah ialah bila manusia telah menjadi sadar, bahwa satu-satunya Tuhan bagi manusia adalah dirinya sendiri: Homo Homini Deus!"

Seperti yang telah kita catat, Karl Marx adalah orang yang sejak awal mulanya atheis. Dia jauh lebih condong kepada motif-motif psikologis dan emosional. Tetapi pada zamannya, Marx memerlukan suatu pengesahan yang rasional terhadap sikap emosionalnya. Dia menemukan pengesahan rasional tersebut pada anthropolog Ludwig Feuerbach dan menganutnya dengan sepenuh hati.5

Feuerbach dan Marx secara naif mencoba untuk menerangkan dan sekaligus menghina agama dengan pisau rasio semata. Mereka men­duga bahwa untuk memahami dan mengerti tentang agama adalah sama dengan cara yang dipergunakan urnuk memahami filsafat atau ilmu pengetahuan. Mereka tidak mengerti bahwa agama bukanlah masalah partial; agama bukanlah masalah rasio semata; atau masalah intuisi saja; dan bukan pula masalah hanya aktivitas manusia. Agama adalah satu manifestasi dari totalitas manusia.

Dalam hubungan ini Iqbal telah memberikan jawaban yang jelas tentang masalah agama ini; ia menyatakan antara lain: "Akan tetapi menyesuaikan agama dengan akal bukanlah berarti menerima kele­bihan filsafat atas agama. Tidak sak lagi bahwa filsafat memang mempunyai hak untuk mempersoalkan agama, tetapi apa yang akan dipertimbangkan nanti adalah sedemikian rupa sifatnya sehingga ia tidak hendak menyerah kepada wewenang filsafat itu. Sambil duduk mempersoalkan agama; filsafat tidaklah sanggup menyuguhkan kepada agama suatu tempat yang rendah di antara bahan-bahan keterangannya."

Agama bukan soal sebagian-sebagian; ia bukanlah akal semata-­mata, tidak pula hanya perasaan saja, ataupun tindakan semata-mata; ia adalah ekspresi dari seluruh kemanusiaan. Oleh karena itu dalam memberi penilaian kepada agama, filsafat harus mengakui kedudukan sentral dari agama dan tidaklah ada pilihan lain selain menerimanya sebagai pusat sesuatu dalam proses sinthese pantulan pikiran. Pula tidak ada sesuatu alasanpun untuk menyangka bahwa akal dan intuisi itu pada dasamya adalah berlawanan satu sama lain. Mereka terbit dari tempat yang sama dan saling isi mengisi. Yang satu berpegang pada kebenaran itu secara sepotong-sepotong, yang lain memegangnya dalam kebulatan keseluruhannya. Yang satu menetapkan pandangan­nya pada sementara dari kebenaran, yang lain pada aspek keabadian. Yang satu adalah nikmat dinihari dari seluruh kebenaran; yang lain bermaksud menjaraki keseluruhan dengan perlahan-lahan memerinci dan menutupi berbagai-bagai dari keseluruhan itu guna peninjauan tersebut. Kedua-duanya mencari penglihatan-penglihatan dari kebenaran yang itu-itu juga, yang menampakkan dirinya pada mereka sesuai dengan fungsi mereka dalam kehidupan. Pada hakekatnya, intuisi itu, sebagaimana kata Bergson secara tepat, adalah hanya semacam akal yang lebih tinggi saja.6

Pandangan yang naif dan emosional terhadap agama, mengakibat­kan kaum komunis bersikap sangat benci dan garang terhadap agama. Lenin mengangap Marx terlalu memberi hati kepada agama dengan berbicara bahwa agama merupakan candu bagi masyarakat. Lenin melihat agama lebih mempunyai sifat seperti vodka yang buruk. Pada tahun 1905 Lenin rnenulis: "Agama adalah semacam vodka spiritual yang buruk, yang di dalamnya budak-budak kapitalisme membenamkan sifat manusia dan rasa sakit hati mereka yang timbul dari suatu kehidupan yang sangat tidak berharga". Bagi Stalin, yang pemah menjadi seorang siswa Seminari dari Tiflis, unsur-unsur emosional pribadi dari agama memainkan peranan yang lebih eksplisit dibanding bagi Lenin. Meskipun demikian, tak seorang pun dari pemimpin Soviet dapat membayangkan adanya kemungkinan agama tetap hidup di negara komunis tersebut.7

Sebab sikap bermusuhan terhadap agama sedemikian garangnya, sehingga sejak tahun 1961, jadi lebih dari 100 tahun setelah kelahiran Marx, teks program resmi negara Soviet dan Partai Komunis mene­gaskan: "peperangan tanpa ampun dan terus menerus melawan keper­cayaan agama dengan tujuan membangun komunisme di tengah-tengah Soviet".8

Selain dari itu, Marx telah menjadikan materialisme sebagai landa­san filsafatnya, terbukti dewasa ini sangat lemah. Karena sebagaimana telah kita maklumi dalam teori fisika quantum, terbukti yang semula dikira materi berasal dari "sesuatu yang tidak diketahui" (misteri). Materi dan energi adalah manifestasi bolak-balik dari sesuatu yang tidak diketahui, demikian menurut teori quantum. Jadi materi secara hakiki merupakan misteri yang belum diketahui manusia. Dengan demikian, bagaimana mungkin materi yang masih rnisteri itu bisa dijadikan landasan filsafat yang benar? Jadi materialisme sebagai aliran filsafat yang dipergunakan oleh Marx dan kaum komunis merupakan falsafat ilusi, falsafat khayali, yang secara filosofis tidak bisa diper­tanggung jawabkan.

Selanjutnya, dialektika adalah merupakan methoda yang diper­gunakan oleh Marx di dalam mendekati dan memahami gejala-gejala alam, adalah berasal dari filsafatHegel (1770-1831). Dialektika mempunyai pengertian bahwa alam semesta ini bukan tumpukan yang terdiri atas segala sesuatu yang berdiri sendiri-sendin dan terpisah-pisah, tetapi merupakan satu keseluruhan yang bulat dan berhubungan satu sama lain; bahwa alam ini bukanlah sesuatu yang diam, tetapi keadaannya terus bergerak dan berkembang; bahwa dalam proses perkembangan alam semesta ini terdapat perubahan dari kwantatif ke kwalitaif dan sebaliknya; bahwa pekembangan ini disebabkan karena adanya per­tentangan di dalam benda itu sendiri (kontradiksi intern). Singkatnya dialektika bercirikan 4 asas yaitu: gerak, saling berhubungan, peru­bahan kualitatif ke kuantitatif atau sebaliknya, dan kontradiksi intem.

Gerak diartikan sebagai perubahan pada umumnya. Gerak (motion) adalah satu tanda daripada adanya benda. Setiap dari yang terkecil hingga yang terbesar, dari setitik atom sampai sebuah matahari selalu bergerak, artinya selalu berubah, berkembang dan lenyap. Kadang-­kadang gerak membentuk satu keseimbangan, sehingga menjadi diam (tidak bergerak). Demikianlah pada hakekatnya diam itu adalah satu macam gerak.. Gerak adalah absolut, sedangkan diam adalah relatif. Perkembangan ini berjalan dari yang rendah kepada yang lebih tingi, dari yang sederhana kepada yang lebih kompleks. Walaupun kadang-­kadang seperti kembali ke asal; perkembangan ini sesungguhnya tidak berjalan dalam satu lingkaran, tetapi berupa spiral yang terus maju dan menaik keatas.

Perubahan atau pekembangan ini disebabkan karena alam semesta saling berhubungan satu dengan yang lain. Perubahan dalam satu bagian akan menyebabkan pula perubahan dalam bagian lainnya; perkembangan dalam satu benda akan mempengaruhi benda-benda lainnya.

Selain disebabkan adanya hubungari antara satu benda dengan benda lainnya, perubahan atau perkembangan itu disebabkan karena adanya kontradiksi intern yang selalu tejadi dalam segala hal. Dalam setiap hal selalu terdapat these dan lawannya yakni anti these. Kon­tradiksi antara these dan anti these melahirkan synthese. Synthese ini kemudian menjadi these baru dan anti these baru dan melahirkan syn­these baru pula; dan begitu seterusnya. Dalam setiap hal selalu terdapat "pertentangan antara yang lama dan yang baru, antara yang mati dan yang lahir, antara yang sedang lenyap dan yang sedang berkembang".

Perkembangan ini terjadi karena penggantian yang lama oleh yang baru. Tak ada perkembangan yang timbul dengan sendirinya, kecuali penggantian (negasi) dari bentuknya yang lama (terdahulu). Inilah yang disebut "hukum negasi dari negasi" (the law of negatif of negation).

Perubahan kuantitatif selalu berlangsung secara kontinyu dan secara berangsur-angsur (evolusi), sedangkan perubahan kualitatif tidak kontinyu, melainkan merupakan loncatan yang terjadi sewaktu-waktu saja. Titik dimana terjadi perubahan dari sesuatu kualitas tertentu ke kualitas lainnya disebut revolusi.9

Marurut Marx, dialektika adalah teori tentang persatuan hal-hal yang bertentangan (theory of the union opposite). Pertentangan yang dimaksudkan oleh Marx itu tidak pernah dijelaskan. Dalam keya­kinannya bahwa feodalisme merupakan tesia, kapitalisme merupakan antitesa, kemudian menjelma menjadi sosialisme sebagai sintesa. Teorinya tidak didasarkan kepada penyelidikan yang jauh, hanya teori yang bersifat spekulatif; Marx hanya bersikap abritraire.10

Kemudian historis-materialis yang merupakan dasar pembahasan penghidupan masyarakat oleh Marx, ternyata berasal dari teori evo­lusi Darwin. Hal ini terlihat jelas dari surat yang dikirimkan oleh Marx kepada Engels, setelah ia mempelajari buku yang ditulis Darwin, yang antara lain berbunyi: "Aku menerima pandangari ini sebagai dasar biologis untuk filsafat sejarahku".11

Padahal sebagaimana telah kita ketahui, bahwa teori Darwin mempunyai kelemahan-kelemahan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, sehingga para ahli evolusi alam berseminar selama empat hari di Chicago Amerika Serikat pada bulan Oktober 1980; menolak teori evolusi Darwin tersebut. 12

Kemudian ekonomi dijadikan dasar di dalam menganalisa dari ke­hidupan masyarakat oleh Marx, khususnya "Teori hak milik dan teori nilai barang", diambil dari Proudhon dan Ricardo. Menurut Proudhon (1809-1865) dalam bukunya "Que 'est ceque la Propriete" (Apakah hak milik itu?) pada tahun 1840, antara lain menulis: "harta yang tidak wajar yang diperoleh seseorang disebutnya sebagai harta milik/barang curian". Sedangkan Ricardo ( 1772-1823 ) yang menyatakan antara lain: "Dari manakah datangnya nilai itu? Nilai semua barang terletak dalam jumlah tenaga yang diperlukan untuk membuatnya".

Kedua teori ini, kemudian dipergunakan oleh Marx sebagai teori ekonominya. Marx berkata: "Jika nilai barang itu terletak dalam tenaga yang dipergunakan untuk membuatnya, mengapa nilai tersebut tidak semuanya diberikan kepada manusia yang membuatnya, yakni kaum buruh". Karenanya, menurut Marx, nilai harga yang diambil oleh para pemilik modal dalam suatu proses produksi, disebut sebagai "harta milik curian", yaitu mencuri harta milik kaum buruh.

Sebagimana kita ketahui bahwa pada asal mula, para ahli ekonomi memakai perkataan "real value'' (nilai yang sesungguhnya) disamping perkataan "harga". Real value adalah nilai yang tidak ada hubungan­nya dengan harga. Akan tetapi dewasa ini hampir semua ahli ekonomi berpendapat bahwa nilai dan harga adalah sama.

Menurut ahli-ahli ekonomi, sesuatu barang akan mempunyai nilai (value), jika barang itu memenuhi dua syarat, pertama, barang itu harus berfaedah (useful), yakni ada orang yang membutuhkannya. Kedua, barang itu telah memerlukan tenaga untuk membuatnya. Sebaliknya suatu barang mungkin memerlukan tenaga kerja bertahun-tahun untuk membuatnya, akan tetapi kalau tak ada orang yang memerlukannya, maka barang tersebut tak mempunyai harga.

Demikianlah pentingnya hubungan antara faedah dan nilai; namun Marx tidak memasukkan unsur faedah dalam memberikan definisi mengenai "nilai". Ia hanya berkata bahwa "nilai adalah hasil dari tenaga".

Selanjutnya, dalam teori ekonomi, untuk membuat sesuatu barang yang ada nilainya diperlukan 4 unsur; yaitu: ladang (bahan mentah), tenaga, modal (kapital) dan organisasi (management). Masing-masing dari 4 unsur tersebut mendapat bagian dari hasil ladang mendapatkan sewa; tenaga mendapatkan upah; modal mendapat keuntungan (interest) dan managemant, termasuk di dalamnya unsur ketidak­-tentuan (resiko) mendapat laba (profit). Marx menolak pendapat tersebut dan mengatakan bahwa "hanya tenagalah yang berhak kepada laba".

Menurut Marx, dalam tiap-tiap benda yang dibuat manusia ada suatu hal yang dinamakan "nilai" dan ada pula yang dinamakan "nilai kelebihan" (surplus value). Yang dimaksud nilai adalah nilai jika barang itu ditukar persis sama, tetapi nilai tersebut tak dapat disama­kan dengan "harga". Adapun nilai lebih (surplus value) adalah nilai yang menetapkan keuntungan pada umumnya.

Apabila kita perhatikan teori ekonomi Marx, khususnya teori tentang "nilai dan nilai kelebihan", dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Sesungguhnya teori Marx tentangnilai dan nilai kelebihan itu bukanlah teori ekonomi, akan tetapi suatu alat propaganda politik untuk menunjukkan bahwa kaum kaya itu hidupnya hanya mengeksploitir tenaga kaum miskin;

2. Teori Marx tersebut hanya berdasarkan kepada anggapan bahwa tenaga manusia adalah satu-satunya sumber dari mana nilai itu muncul. Anggapan semacam ini adalah salah, sebab Marx hanya memberikan perhatiannya kepada satu faktor secara berlebihan, padahal masalahnya sangat kompleks, khususnya faktor-faktor yang menentukan masalah nilai;

3. Yang digambarkan oleh Marx tentang kaum kapitalis dari awal abad XVIII adalah orang-orang yang mempunyai kapital dan perusahaan sendiri. Akan tetapi mulai pertengahan abad XVIII tersebut, modal itu tidak dimiliki oleh pengusaha saja. Modal dikumpulkan dari bermacam-macam golongan diantaranya dari golongan buruh sendiri, sedangkan management dilakukan oleh orang-orang yang cakap tetapi mereka itu pada dasamya bekerja sebagai buruh. 13

Dari ungkapan latar belakang sejarah mengenai Komunisme-Atheisme dapat disimpulkan bahwa Komunisme-Atheisme adalah himpunan dari berbagai teori/konsepsi filsafat, yaitu:

1. Atheisme dan materialisme milik Feuerbach
2. Dialektika adalah milik Hegel
3. Evolusi Sejarah adalah milik Darwin
4. Teori harta milik adalah milik Proudhon
5. Teori nilai dan nilai lebih adalah milik Ricardo.

Sehubungan dengan ini Raymond Aron menyimpulkan bahwa Marxisme tidak lain adalah himpunan yang dibuat secara cerdik dari segala sesuatu yang telah dikatakan oleh non Marxist. 14

Jadi, apabila atheisme dan materialisme (Feuerbach), dialektika (Hegel), evolusi (Darwin), harta milik (Proudhon), theori nilai (Ricardo), dicopot dari Komunisme-Atheisme, tidak ada yang tinggal kecuali kerangka-kerangka yang kosong.

Lalu teori-teori Komunisme-Atheisme tidak ditulis sendirian oleh Marx, tetapi ditulis bersama-sama dengan Engels; dan buku pertamanya berjudul "Manifesto Komunis" terbit pada tahtu 1848. Kemudian menyusul buku "Das Kapital I", yang terbit pada tahun 1867; sedangkan Das Kapital jilid II dan IIl diterbitkan oteh Engels sesudah Marx meninggal.

Untuk merealisasikan idea-ideanya, Marx telah mendirikan organisasi Komunis Internasional yang disingkat Intenational I pada tahun 1864 sampai 1876. Tetapi organisasi ini tidak bisa bertahan lama, karena perpecahan diantara anggota-anggotanya, khususnya antara Marx dengan Mickail Bakunin dari Rusia. Internasional II didirikan pada tahun 1889. Setelah 6 tahun Marx meninggal. Internasional II ini didominir oleh tokoh-tokoh komunis Jerman, seperti Eduard Bernstein yang dianggap sebagai tokoh revisionis. Pola yang akan ditempuh oleh Internasional II secara evolusioner ternyata ditentang oleh Lenin; sebab menurut Lenin cara evolusioner adalah menyalahi doktrin komunis, cara satu-satunya adalah revolusioner, karena hal itu merupakan syarat mutlak untuk menciptakan masyarakat komunis. Pada Perang Dunia II pertentangan di dalam Internasional II ini tambah sengit, sehingga Internasional UU lumpuh. 15

Gambaran latar belakang sejarah Komunisme-Atheisme dan memberikan kenyataan bahwa teori-teori komunisme-atheisme yang disusun oleh Marx dan Engels, diambil dari bermacam teori orang lain yang sedikit sekali dikuasainya, sehingga penyusunannya dalam satu kerangka komunisme-atheisme menjadi sangat absurd. Oleh karena itu, berdasarkan kenyataan ini, maka kita lebih cen­derung untuk berkesimpulan bahwa komunisme-atheisme bukan lahir karena pemikiran yang murni dari filsafat Marx dan Engels, tetapi karena ada pesanan dari sekelompok, orang /organisasi, dan dalam hal ini adalah Freemasonry.

Absurditas dari filsafat komunisme-atheisme, akan kita buktikan dalam pasal-pasal selanjutnya dari tulisan ini.

Pandangan Hidupnya

Mengenai paham materialisme, Marx berpendapat bahwa alam kebendaan adalah kenyataan pokok (fundamental-reality); walau­pun alam kebendaan itu dapat dijadikan bahan untuk dipikirkan, namun ini tidak diwujudkan oleh pikiran. Pendapat Marx ini adalah reaksi terhadap filsafat idealisme yang menyatakan bahwa apa yang ada itu sesungguhnya ialah pikiran; bahwa alam kebendaan (materi) adalah ciptaan dari pikiran.

Bagi Marx, perasan (sensation) yang memberi gambaran tentang alam kebendaan tidak memberi pengetahuan kepada kita, akan tetapi hanya merupakan pendorong kepada terjadinya pengetahuan yang sesungguhnya. Marx beranggapan bahwa hakikat itu adalah benda dan bukan pikiran. Bendalah yang berwujud lebih dahulu, sesudah itu barulah muncul pikiran.

Dengan demikian bahwa materi (benda) adalah primer, asas, gerak, saling berhubungan, asasperubahan kuantitatif ke kualitatif dan asas kontradiksi, yang berlaku juga di dalam masyarakat. Materialisme tidak megakui bahwa manusia adalah makhluk moral.

Padahal moral yang berintikan nilai-nilai luhur bagi kehidupan manuisa, yang telah dikenal dan dipergunakan oleh manusia sepan­jang sejarah, sejak kehadirannya di planet bumi ini. Nilai-nilai moral terdiri dari ikatan yang ada antara manusia dalam setiap gejala, perilaku, perbuatan atau dimana suatu motif yang lebih tinggi dari­pada motif manfaat timbul. Ikatan ini mungkin dapat disebut ikatan suci, karena ia dihormati dan dipuja begitu rupa sehingga orang merasa rela untuk membuktikan atau mengorbankan kehidupan mereka demi ikatan ini. Tambahan pula, ada yang pantas direnungkan, yaitu bahwa di sini tidak ada masalah pembenaran alamiah, rasional atau ilmiah; begitu pula perasaan ini, sebagai manifestasi eksistensi yarig paling mulia dari makhluk manusia, dalam semua agama dan kebudayaan sepanjang sejarah, diakui sebagai sumber terbesar, Keagungan ter­tinggi emosi yang paling berharga dan kejadian yang paling ajaib.

Dari mulai orang-orang yang telah mengabaikan, kehidupan materialnya demi seni, demi kesusasteraan dan ilmu, sampai para syuhada, pencari kebenaran dan pahlawan besar setiap bangsa; dari seorang yang dalam perkawinan memilih cinta daripada kehidupan yang layak; sampai kepada seseorang yang demi keyakinan agama atau kemanusiaan membutakan matanya dari masalah cinta pribadi, atau bahkan dari dirinya sendiri; mereka semua adalah pencinta nilai manusiawi dalam kehidupan manusia. Nilai dan manfaat adalah dua istilah yang belawanan, dan yang menjadikan manusia makhluk im­materiat, bebas dari dan juga berada di atas semua makhluk lain ada­lah hasil dari pandangan yang tinggi terhadap nilai.

Nilai-nilai tidak mempunyai wujud dalam alam, tidak mempuriyai identitas eksternal dan material. Oleh karena itu, realisme {material­isme dan naturalisme) tidak dapat mengakui eksistensi nilai, karena tanpa kemanusiaan tidak akan ada nilai-nilai. Kita sampai pada ke­simpulan yang tidak dapat dihindarkan, bahwa nilai-nilai berasal dari manusia, dan karenanya juga dari orde ideal atau subyektif. Karena alasan itu orang-orang materialis pasti menyangkal nilai-nilai. Tetapi bagaimana mungkin orang dapat menyangkal manifestasi-eksistensial yang paling luhur dari makhluk manusia ini? Melakukan hal itu tentu merupakan tugas yang sulit, memalukan dan mematikan. Tetapi ke mana lagi kaum materialis harus merujuk? Kecuali kalau rnereka terpaksa mengakui manusia lebih utama dari realitas materi. Pernyataan-pernyataan ini tentu saja menyangkal materialisme.

Tetapi para filosof materialis yang semata-mata bersandar pada gagasan filosofis dan ilmiah (?) dari sosiologi, psikologi, anthropologi ­tidak ragu-ragu untuk menyangkal eksistensi nilai, melemparkannya sebagai takhayul, anggapan-anggapan bohong, kebiasaan warisan, atau adat-istiadat sosial akibat dari bentuk-bentuk material, atau sebagai keadaan emosional yang berasal dari fisiologi, hewan yang berbicara! Dengan analisis sok ilmiah yang tanpa perasaan dan tanpa belas kasihan, kaum materialis merusak kesucian esensial, kebajikan nilai-nilai, dan membedahnya seperti orang yang memotong-motong suatu sistem yang hidup dan indah, hingga menjadi zat mati dan komponen-komponen material yang rendah.

Jadi, apabila mereka dihadapkan dengan seseorang yang melu­pakan dirinya demi mencari penemuan ilmiah, atau seseorang yang membaktikan dirinya untuk negara, atau seseorang yang memilih cita-citanya di atas kepentingan pribadi, atau seseorang yang mem­berikan nilai yang lebih tinggi pada keindahan dan kebaikan ketimbang keuntungan dan kesenangan pribadi, maka kaum materialis menjelas­kan perasaannya persis seperti mereka menjelaskan partisipasi dalam upacara khitanan.

Di sinilah Marxisme --yang menjadikan materialisme sebagai dasar fitsafatnya-- jatuh pada suatu kedudukan yang sangat lemah bagi sebuah ideologi. Pertama-tama, Marx bukanlah semata-mata seorang materialis filosofis yang senang berbicara seperti Sartre: "apapun yang kamu pilih dari kemerdekaan, kebebasan memilih dan niat baik, semuanya merupakan suatu nilai dan kebaikan" (walaupun mungkin berupa pengabdian pada syaitan dan rasa emosional yang rendah). Marx seorang ideologis sosial yang menjadi pemimpin politik kaum proletar pada zamannya, dan pendiri partai pada tahap aksi, dan dengan demikian ia hanya penyebar program tertentu. Berbeda dengan Sartre, Marx berkata: "Kamu bertanggung jawab atas pilihanmu, dan dalam menghadapi tanggung jawab ini kamu harus berjuang dan berkorban untuk mewujudkan cita-cita yang istimewa ini. Yakni, kamu harus mangerahkan semua motif material, kebutuhan ekonomi, keinginan duniawi, bahkan kehidupanmu demi perjuangan ini".

Ungkapan di atas ini tak sak lagi, bahwa Marx berbicara tentang serangkaian nilai-nilai yang berlawanan dengan kepentingan diri dan mengatasi eksistensi material manusia. Jadi apabila ia berbicara mengenai kapitalis dan psikologis borjuis yang mengukur eksisterisi manusra dengan uang, menycret manusia ke dalam kebejatan moral dan membangun masyarakat korup, maka ia mendasarkan pikirannya pada nilai-nilai moral.

Tetapi; apabila ia mempertontonkan kemegahan bangunan pemi­kirannya dan membicarakan materialisme dialektis; ia berjuang mati-­matian untuk membuktikan bahwa dirinya setia pada materialisme, dan hanya membenarkan semua yang cocok dengan argumentasi biologis dan materialis dari pengetahuan alamiah Dan ia mengikuti kaum materialis lainnya, termasuk kaum realis yang paling tegar dalam merendahkan nilai kemanusiaan menjadi sesuatu yang tanpa dasar. Dari pikiran dan pendirian yang labil ini, menunjukkan bahwa Marx adalah tidak konsisten dengan landasan filsafatnya sendiri.

Marx berulang kali menunjukkan dengan bangga secuil tipuan ilmiah, yang dilakukannya untuk memelihara kemuliaan manusia, yaitu: "dialektika tidak memandang manusia seperti apa yang dila­kukan oleh bentuk lain naturalisme dan materialisme --yaitu sebagai wujud material yang tetap, dalam alam yang mekanis-- tetapi meng­gambarkannya sebagai makhluk yang sedang berevolusi, bergerak ke muka dengan dialektika historis." Dengan tipuan ini Marx me­mindahkan kemanusiaan dari bidang alam ke bidang sejarah.

Tetapi manusia tidak mendapat kemuliaan dengan pengangkatan ini. Karena sejarah menurut Marx adalah: "Kelanjutan dari gerakan alam material". Manusia dalam konteks sejarah akhimya kembali kepada alam mekanis dari kaum materialis, untuk dipandang sebagai wujud material. Jadi semua nilai yang Marx berikan kepadanya dalam konteks masyarakat ditarik kembali. Dengan bantuan materialisme dialektis (mengingatkan kepada pemyataan Chandel): "Marx si filosof; menghancurkan semua nilai hakikat manusia di bawah roda-roda tank materialisme - dialektis". Tetapi Marx, si politikus dan si pemimpin, dengan pujiannya yang paling bersemangat dan paling bergairah terhadap nilai-nilai ini meng­gerakkan rakyat untuk mencapai kekuasaan dan kemenangan. 16

Historical-materialisme artinya materialisme dalam memahami sejarah bertumpu pada dua pikiran, yaitu, sebab-sebab ekonomi adalah sangat penting (economic causes are fundamental), dan sebab-sebab tersebut menjalankan peranannya menurut prinsip­-prinsip dialektis. Dalam teori ini Marx menganalisa masyarakat melalui penafsiran ekonomi tentang sejarah: produk barang-barang dan jasa-jasa ini adalah dasar (infrastruktur) dari gejala proses dan lembaga-lembaga sosial. Marx tidak mendakwakan bahwa faktor ekonomis adalah satu-satunya faktor dalam pembentukan sejarah; tetapi ia berpendapat bahwa faktor ini adalah yang terpenting, sebagai dasar, sebagai infrastruktur untuk membangun suprastruk­tur: kebudayaan, perundang-undangan, pemerintahan, ideologi politik, sosial, agama, kesusasteraan dan artistik. ­

Sacara umum, Marx melukiskan hubungan antara kondisi-kondisi material kehidupan manusia dan idea-idea sebagai berikut: "Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan adanya mereka, akan tetapi sebaliknya, adanya mereka dalam penghidupan sosial-lah yang menentukan kesadaran mereka".

Dalam satu masyarakat yang berpindah-pindah (nomadis) misal­nya, kuda mungkin dianggap sebagai alat yang utama untuk men­dapatkan dan mengumpulkan harta. Dari sudut pandangan Marx "sendi" dari penghidupan yang nomadis ini merupakan kunci bagi "supra struktur". Undang-undang, pemerintahan dan idea-idea yang berpengaruh dalam masyarakat itu. Demikianlah, menurut Marx, mereka yang terbanyak mempunyai kuda dalam masyarakat nomadis semacam itu juga akan menjadi pemimpin-pemimpin politik yang mem­buat dan menafsirkan undang-undang; mungkin mereka juga akan mendapatkan penghormatan yang tertingi dan menjadi orang yang paling disegani bagi anggota-anggota suku yang tidak mempunyai kuda. Dalam lingkungari alam semacam itu buah pikiran, konsep-­konsep sosial dan kultural yang paling berpengaruh akan mencerminkan kedudukan ekonomi yang berpengaruh dari mereka yang mem­punyai kuda banyak. Juga di lapangan keagamaan pengaruh mereka tidak akan ketinggalan. Tuhan, misalnya mungkin digambarkan sebagai seorang pengendara kuda yang tegap dan kuat; dan mengenai keadilan dan kekuasaan, Tuhan akan dibayangkan sebagai kelanjutan dalam ukuran besar dari keadilan manusia yang ditetapkan oleh pemilih pemimpin pemilik kuda itu.

Dalam satu masyarakat tani yang telah jadi, pemilik tanah akan menjadi kunci bagi pembentukan lembaga-lembaga dan konsep­-konsep politik, sosial, hukum dan kebudayaan: Dalam masyarakat semacam itu, kelas yang memiliki tanah adalah pemerintah yang sebenarnya dari negara dan masyarakat, tak peduli apakah ada kekuasaan formal yang berlainan tujuan. Demikian pula, kelas pemilik tanah akan menentukan ukuran-ukuran dan nilai-nilai sosial yang datang dan berlaku.

Akhirnya dalam masyarakat industri modern dari dua abad bela­kang ini, pemilikan alat-alat produksi industri merupakan kunci utama. Kaum kapitalis tidak saja menentukan nasib ekonomi masyarakat, tapi juga menguasainya secara politis (tidak peduli kenyataan-kenyataan sebaliknya yang formal dan sah), dan menetapkan ukuran-ukuran dan nilai-nilai sosial dalam masyarakat itu. Tujuan terakhir dari undang-­undang, pendidikan, pers, dari hasil-hasil karya artistik dan sastera adalah untuk mempertahankan satu idealogi yang dijiwai oleh keke­balan dan kebenaran bangunan-bangunan hak milik kapitalis

Teori interpretasi ekonomis terhadap sejarah oleh Marx mem­punyai kekurangan-kekurangan yang sama dengan teori-teori lain­nya, yakni dalam bentuk anggapan seakan-akan telah memberikan "kunci utama" bagi penafsiran sejarah: satu pemukul-rataan dan pemudahan persoalan yang berlebih-lebihan. Apabila diperlukan hanya satu faktor (apakah faktor itu berupa pahlawan, peperangan, agama, suasana, suku bangsa, ekonomi dan lain-lain seterusnya dalam sejarah ) untuk tugas penerangan dan penggambaran, yang seharus­nya lebih tepat dilakukan beberapa faktor, maka tugasnya akan terlalu berat. Tidak pemah ada satu faktor yang sendirinya lebih berpengaruh di sepanjang sejarah, dan faktor manakah yang paling penting dalam suatu keadaan tertentu adalah satu soal yang harus diselidiki dari pengalaman.

Satu jalinan banyak faktor yang sukar diuraikan, senan­tiasa terdapat dari bukanlah satu pekerjaan yang mudah untuk mene­rangkannya dalam bentuk satu peristiwa kongkrit atau satu rentetan kejadian. Adalah cukup sukar untuk menerangkan secara pasti alasan-alasan apakah yang menyebabkan diambilnya tindakan oleh seseorang, oleh karena tindakan seseorang itu sering saling berten­tangan, suatu hal yang menurut pikiran yang wajar tidak semestinya. Adalah lebih sukar lagi untuk menyisihkan bagian-bagian yang menentukan dari suatu tindakan yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh suatu golongan kecil; dan sesungguhnya adalah tidak mungkin untuk memukul-ratakan saja segala tindakan kolektif secara besar-­besaran dari proses-proses di sepanjang sejarah.

Untuk memberikan sebuah gambaran yang praktis: Penafsiran Marxis tentang imperialisme ialah sebab yang utama adalah kepen­tingan-kepentingan dan pertentangan-pertentangan ekonomi, dan peperangan dalam zaman kapitalisme adalah puncak dari pertentang­an-pertentangan imperialisme. Tidak disangkal lagi bahwa imperi­alisme; kuno maupun modem, telah terwujud dalam sejarah yang asal-usulnya dapat diteliti; yakni berasal dari faktor-faktor ekonomi; beberapa contah dari ekspansi imperialisme klasik dari negara-­negara kapitalis maju seperti Belanda, lnggris dan Perancis dalam abad XVIII dan permulaan abad XIX dapat diselidiki asal-usulnya, yakni terutama kekuatan-kekuatan ekonomi. Selanjutnya juga mungkin untuk menemukan perang-perang kecil, baik di zaman dahulu maupun di waktu akhir-akhir ini, yang terutama beralaskan kepentingan-­kepentingan dan persengketaan- persengketaan ekonomi.

Sungguhpun demikian, interpretasi ekonomis tidaklah mengenai inti persoalan, sepanjang yang berkenaan dengan pertikaian-per­tikaian besar dan menetukan dalam sejarah. Orang-orang Yunani/Romawi yang memerangi Persia hampir 2500 tahun yang lalu ber­buat demikian, bukanlah terutama untuk melindungi modal-modal yang ditanam dan kepentingan-kepentingan perdagangan di Asia Kecil, akan tetapi oleh karena mereka tahu bahwa kemenangan Persia akan ber­arti berakhimya peradaban Yunani/Romawi.

Kemenangan Persia tidak disangkal lagi akan mengakibatkan kerugian-kerugian  di lapangan ekonomi dan keuangan bagi Yunani, akan tetapi kemungkinan akibatnya yang utama adalah kehancuran cara hidup Yunani, dengan segala ketekunannya dalam usaha mencari kebenaran, dan penghargaannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena seluruh bangunan peradaban Barat tidak dapat dibayangkan dengan tidak mengingat sumber Yunaninya; kemenangan Persia atas Yunani akan berarti "Asianisasi" Eropa secara spiritual dan intelektual.

Demikian juga untuk mengambil contoh yang paling dekat, inti persoalan dalam Perang Dunia I dan II bukanlah perlindungan ter­hadap investasi-investasi Inggeris di Afrika atau pinjaman Amerika Seerikat pada lnggeris dan Prancis, akan tetapi soal yang lebih pokok ialah apakah kemerdekaan agama; intelektual, politik dan rasial, akan hidup terus, ataukah militerisme totaliter akan menguasai dunia. Sekali lagi, tidak diragukan bahwa kemenangan Jerman dalam Perang Dunia I dan II akan mengakibatkan kerugian-kerugian yang mendalam di lapangan ekonomi bagi yang kalah; tetapi akibat ekonomi ini akan kecil artinya jika dibandingkan dengan akibat-akibat pengembalian cara hidup yang didasarkan atas penolakan total terhadap tradisi Barat.

Yang luput dari interpretasi Marxis-Komunis dalam menganalisa pertikaian-pertikaian besar semacam itu adalah, pertama, unsur kekuasaan (yang kadang-kadang lebih banyak menjadi sebab daripada merupakan akibat dari keuntungan ekonomi); kedua, bentrokan diantara sistem-sistem nilai yang sering lebih penting bagi manusia daripada kepentingan-kepentingaan ekonomi, tak perduli apakah nilai-­nilai yang bersangkutan semata-mata bersifat politik, agama, intelek­tual, atau dalam arti yang lebih luas, pernyataan simbolik dari sesuatu keseluruhan cara hidup. Sebenarnya dimana pertentangan-pertentangan kepentingan bersifat ekonomi, kompromi biasanya agak lebih mudah dicapai; akan tetapi, dimana nilai-nilai yang lebih mendalam dipertaruhkan, seperti kemerdekaan perseorangan, kemerdekaan ber­agama, atau kemerdekaan nasional, maka kompromi akan menjadi lebih sulit. 17

Marxisme-Komunisme menggambarkan sejarah sebagai satu­-satunya arus material-determinatif yang dalam perjalanannya, mem­bangun sesuatu yang disebut manusia dari elemen material, sesuai dengan hukum proses sejarah yang tak dapat diubah. Jadi pada akhir­nya historisme menurut Marx dan Komunis mengarah kepada deter­minisme-materialistis, dimana di dalamnya manusia menjadi elemen yang pasif.

Dalam konteks ini Marxisme-Komunisme adalah suatu keadaan yang membingungkan. Marx dalam salah satu fasenya adalah seorang materialis, jadi menganggap makhluk manusia hanya sebagai suatu elemen dalam batas-batas dunia material. Dalam fase lain, ia adalah pendukung ekstrim.sosiologisme. Jadi ia memberikan kebebasan pada masyarakat dalam menghadapi kecenderungan naturalistik dan humanistik, dan kemudian dengan sewenang-wenang menggolong-­golongkan unsur-unsurnya ke dalam infrastruktur atau suprastruktur - yang pertama menunjukkan cara produksi material; dan yang kedua menunjukkan kebudayaan, moral, filsafat, kesusastraan, seni, ideologi dan seterusnya. Dalam hal ini manusia tak lebih daripada bagian-­bagian ini. Ringkasnya, kemanusiaan ternyata hanya produk dari cara produksi material. Karena Marx merinci cara produksi sebagai ter­diri atas alat-alat produksi, maka akhimya keunggulan manusia dalam Marxisme-Komunisme berasal dari keunggulan alat-alat. Jadi di sini ia berbicara mengenai paham peralatan (untensilisme), humanisme.

Dengan menggabungkan dialektika dengan materialisme, Marx bukan saja menyembunyikan mahkota kemuliaan manusia, tetapi juga membangun determinisme materialisme di atas kekuatan deter­miriisme historis dalam manusia. Hal ini benar-benar mengakibatkan perbelengguan keinginan manusiawi sebagai sumber keunggulan manusia di dunia ini, dan akhirnya menceburkan kemanusiaan ke dalam lubang yang sama dari fatalisme - yang digali oleh pendukung ajaran religius - takhayul atau filosof filosof dan teolog-teolog yang bekerjasama dengan kekuasaan politis. 18

Dari uraian singkat di atas, tampak degan jelas bahwa teori Historical-Materialisme tidak ditopang oleh data dan fakta yang akurat, dan di samping itu adanya kerancuan dalam jalan pikiran Marx untuk mangambil kesimpulan umum. Historical-Materialisme lebih bersifat dogmatis ketimbang ilmiah.

Selanjutnya, teori dialektika Marx dalam sejarah dirumuskannya sebagai berikut: feodalisme sebagai tesa; kapitalisme sebagai antitesa, dan komunisme sebagai sintesa. Teori ini, katanya, akan terus berlaku di setiap permukaan bumi ini! Tetapi satu fakta yang tidak bisa dibantah bahwa Rusia sebagai satu bentuk dan contoh negara komunis pertama di dunia, menjelma langsung dari fase feodalisme menjadi komunisme tanpa melalui fase kapitalisme; dari tesa langsung kepada sintesa tanpa melalui antitesa. lni adalah bukti bahwa Rusia sebagai negara yang menerima sepenuhnya doktrin Karl Marx, secara langsung mendustakan teori Marx mengenai dialektika. 19

Begitu pula negara Cina Komunis dan Vietnam, serta bahkan negara-negara Eropa Timur yang menjadi negara-negara komunis seperti Hongaria, Polandia, Cekoslovakia, juga tidak menurut dialek­tika Marx: feodalisme - kapitalisme - komunisme, tetapi karena ekspansi militer Rusia.

Dalam Manifesto Komunis, Marx menerangkan apa sebabnya revolusi merupakan satu-satunya cara bagi perubahan bentuk yang pokok di bidang sosial. Apabila "knowhow" di lapangan teknologi (tenaga-tenaga produksi infrastruktur) mulai mengatasi lembaga­lembaga sosial; hukum dan politik yang ada (hubungan-hubungan produksi/suprastruktur), para pemilik alat-alat produksi tidak melapangkan jalan secara hormat untuk membiarkan sejarah mengikuti arah yang mau tidak mau ditempuhnya.

Oleh karena itu ideologi kelas yang berkuasa mencerminkan sistem ekonomi yang berlaku, para pemilik alat-alat produksi percaya sungguh bahwa sistem yang berlaku secara ekonomis adalah yang paling efisien, secara sosial yang paling adil, dan secara filosofis yang paling selaras dengan undang-undang alam dan dengan kemauan Tuhan yang manapun yang mereka puja.

Marx mengatakan dengan tandas bahwa tuan tanah feodal atau kapitalis industri perseorangan; menghalangi perubahan sosial karena ketamakan diri sendiri; perlawanan kelas yang berkuasa terhadap perubahan adalah sedemikian gigih, se­hingga akhirnya membuat revolusi suatu hal yang tidak dapat dielak­kan; tegasnya karena ia menyemaikan nilai-nilainya sendiri dengan nilai-nilai universal yang berlaku. Oleh karena itu kelas yang berkuasa akan menggerakkan segala alat suprastruktur: hukum, politik dan ideologi untuk memblokir pertumbuhan-pertumbuhan kekuatan yang mewakili sistem ekonomi yang potensial, yang lebih progresif. Disebabkan hal ini, Marx mengatakan di bagian permulaan Manifesto Komunis bahwa "sejarah seluruh masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah dari perjuangan kelas".

Marx tidak berhasil mendapatkan contoh dalam sejarah dimana suatu sistem sosial dan ekonomi berpengaruh, secara sukarela me­nyerah kalah terhadap penggantinya. Berdasarkan anggapan bahwa masa depan itu akan menyerupai masa silam orang-orang komunis, seperti ditulis oleh Manifesto Komunis, "dengan terus terang menyatakan bahwa tujuan mereka hanya dapat tercapai dengan merombak segala kondisi-kondisi sosial yang ada dengan jalan kekerasan". Ini adalah salah satu dari prinsip-prinsip yang menen­tukan dari Marxisme-Leninisme, dan satu prinsip yang paling jelas dan tegas membedakannya dari demokrasi.

Marx pada satu saat tidak mempunyai pandangan yang konsisten bagaimana perubahan politik dari kapitalisme ke komunisme akan berlangsung. Sungguhpun dalam Manifesto Komunis, seperti juga melalui banyak pernyataannya tentang soal tersebut, ia percaya akan perlunya revolusi, tetapi terkadang ia tidak konsisten bahkan ragu. Berbicara di tahun 1872 pada suatu rapat umum di Amsterdam sehabis Kongres Internasional I; Marx mengakui bahwa kelas pekerja dapat menempuh berbagai jalan dalam mencapai kekuasaan: "Kita tahu bahwa kita harus mempertimbangkan bahwa lembaga-­lembaga adat dan kebiasaan dari berbagai daerah, dan kita tidak menyangkal bahwa ada negara-negara seperti Amerika, Inggeris dan --andaikata saya mengenal lembaga-lembaga saudara lebih baik, saya mungkin akan menambahkan negeri Belanda-- di mana kaum pekerja dapat mencapai tujuan mereka dengan jalan damai. Akan tetapi tidaklah demikian halnya dengan semua negara lainnya". Marx tidak pemah mempelajari secara penuh implikasi pembedaan ini, dan pendapat yang kuno dari Marxisme-Komunisme adalah tetap bahwa perubahan dasar di bidang sosial dan ekonomi tidaklah mungkin kecuali dengan peperangan kelas, kekerasan dan revolusi.

Dalam permulaan tahun 1830 terjadilah dua revolusi besar yang bagi Marx gagal untuk menilai dengan sewajarnya. Di tahun 1832, dikeluarkan Reform Act di lnggeris, yang berarti bahwa pemerintahan bangsa tersebut mulai saat itu akan dipegang bersama-sama oleh kaum aristokrat dan golongari kelas menengah, dengan berat tim­bangan cara bertahap bergeser ke arah yang menguntungkari bagi golongan terakhir. Pada waktu yang hampir bersamaan; revolusi kaum pengikut Jackson di Amerika Serikat menimbulkan pergeseran secara damai pula dalam kekuasaan kelas; dengan jalan membawa orang-­orang dari daerah luar kota masuk ke dalam gelanggang potitik Amerika dan dengan berhasil menantang keunggulan tuan-tuan dari Virginia dan New England yang mempermalukan pemerintah Amerika Serikat sebagai anugerah Tuhan.

Perubahan-perubahan di Inggeris dan Arnerika Serikat adalah lebih dan pada hanya merupa­kan kemenangan-kemenangan politik: mereka adalah permulaan dari pergeseran yang tetap dalam pembagian kekuatan posisi dan ekonomi pada kedua bangsa tersebut; semacam perubahan yang ada dalam benak pikiran Marx. Ketika revolusi menyapu bersih seluruh Eropa di tahun 1848, Inggeris tidak terkena, karena tujuan revolusi tahun 1884 --yang memenangkan bagi golongan kelas menengah bagian yang wajar di bidang kekuasaan sosial dan politik-- telah dicapai secara damai oleh golongan kelas menengah di Inggeris di tahun 1832.

Andaikata Marx mengakui secara wajar pentingnya faktor politik, andaikata ia dapat menangkap sepenuhnya kepentingan peranan Re­form Act di Inggeris dan revolusi damai Jackson di Amerika Serikat; ia akan menginsafi bahwa sosialisme di negara-negara yang mempu­nyai tradisi-tradisi yang demokratis, yang cukup kuat menampung
perubahan-perubahan sosial dan ekonomis yang berakibat jauh, dengan tidak usah menempuh jalan perang saudara. Akan tetapi pengakuan terhadap faktor-faktor kultural dan politik dalam mem­perseimbangkan perubahan sosial yang sesungguhnya akan berarti melepaskan pusat tempat berpijak Marx: bahwa sejarah adalah se­jarah peperangan kelas, dan bahwa kelas-kelas yang berkuasa selalu mempertahankan kedudukan mereka sampai detik yang pengha­bisan, yang pahit sekalipun.

Apabila kadang-kadang Marx mengakui bahwa di negara-negara seperti Inggeris, Amerika Serikat dan negeri Belanda, revolusi kekerasan tidak akan diperlukan untuk merubah kapitalisme menjadi masyarakat proletar yang tidak berkelas (komunis), teranglah bahwa persamaan yang ada pada ketiga negara tersebut adalah dalam demokrasi politik, yang didukung oleh adat kebiasaan dan lembaga-­lembaga yang demokratis dalam segala macam hubungan manusia, baik yang bersifat politik atau tidak.

Apakah lingkungan pengecualian oleh Marx harus diperluas atau tidak, dengan demikian akan ber­gantung pada soal apakah demokrasi telah tersebar di seluruh dunia sejak meninggalnya Marx. Biar bagaimanapun, konsesi yang di­berikan oleh Marx bahwa sejumlah kecil negara-negara yang politis maju, mungkin revolusi tidak diperlukan, selain merupakan sakit kepala bagi orang orang komunis. Lenin memperbincangkan soal ini dalam tulisannya "State and Revolution" (1918); risalah politiknya paling terkenal dan berpengaruh, sambil mendakwakan bahwa menjelang tahun 1917 "pengecualian yang diberikan oleh Marx tidak berlaku lagi" karena Inggeris dan Amerika Serikat telah mengembangkan lembaga-lembaga yang birokratis, yang di bawahnya takluk segala se­suatu dan menginjak-injak segala-galanya di bawah "telapak kaki".

Di antara tahun 1872 dan 1917, baik lnggeris maupun Amerika Serikat memperluas hak pilih dan bergerak secara teratur ke arah lebih banyak perubahan politik dan sosial. Hanya setahun meninggalnya Marx, seorang pemimpin liberalis lnggeris, Sir William Harcoutt, menerang­kan dalam tahun 1884: "Kita semua sekarang adalah kaum sosialis"; yang menunjukkan diterimanya perubahan pokok di lapangan sosial dan ekonomi oleh semua partai.

Oleh karena catatan sejarah yang sebenamya dari tahun 1872 -1917 kelihatannya bertentangan dengan "dogma" Lenin, maka di­anggap perlu untuk menulis kembali sejarah dengan tidak mengakui sama sekali bahwa Inggeris dan Amerika Serikat telah bergerak ke arah demokrasi politik dan sosial yang lebih luas sejak tahun 1872, Lenin bersikap keras dan menuduh bahwa kedua negara tersebut telah besifat lebih menindas, otoriter dan plutokratis. Terhadap keterangan William Harcoutt, "kita semua sekarang adalah kaum sosialis", Lenin memberi jawaban: "kamu semua adalah budak-­budak Wall Street yang haus darah dan militeristis".20

Sikap kaum komunis yang bersikeras mempertahankan revolusi sebagai satu-satunya jalan untuk mengadakan perubahan pokok di bidang sosial melanggar doktrin Marxis dalam satu hal pokok yang lain. Menurut Marx, keadaan dari kehidupan manusia menentukan kesadarannya, oleh karenanya perubahan sosial bukanlah merupa­kan hasil dari kemauan dan pilihan bebas manusia semata-mata.

Di mana keadaan masyarakat mengizinkan adanya peralihan secara damai dan hak milik perseorangan; jadi pemilikan umum atas alat-alat produksi; penggunaan kekerasan dan subversi, menurut pengertian Marx bisa ditolerir, dogma kaum komunis mengenai kesadaran, hanya dalam masyarakat dimana keadaan penghidupan sosial dan politik telah menciptakan kesangsian yang umum terhadap kemungkinan perubahan secara damai; ia tidak cocok bagi bangsa-bangsa yang kesadaran demokrasinya bukanlah merupakan hasil dari undang-undang dasar di atas kertas, tetapi tumbuh dari keadaan kehidupan mereka sendiri; sikap ini berarti menerima pandangan Marx yang pragmatis dan oportunistis. Kaum komunis yang bersikeras mengenai revolusi dan kediktatoran universal sebagai satu-satunya jalan untuk mengadakan perubahan; mereka pada hakekatnya memproklamasi­kan doktrin yang bukan Marxis lagi, yakni bahwa tidak peduli bagai­mana keadaan historis, kultural, sosial, ekonomi dan politik, kesadaran yang merata --kredo kaum komunis-- dapat dipaksakan di mana saja, hanya dengan kekerasan. 21

Biasanya, teori yang betul menjadi petunjuk bagi politik yang efektip, dan teori yang salah dapat hukuman kegagalan dalam praktek. Dan bukti-bukti dari teori komunis yang salah ini akan kita tampilkan lebih lanjut.

Uraian di atas memperluas wawasan kita bahwa doktrin Marxisme-Komunisme, yang paling sering didengung-dengungkan sebagai he­bat dan ilmiah, ternyata setelah dianalisa dan disesuaikan dengan data dan fakta ilmiah, ternyata sangat rapuh dan labil, bahkan lebih bersifat dogmatis dibanding dengan doktrin-doktrin agama manapun di dunia ini. Demikian dogmatisnya sehingga segala data dan fakta serta koreksi ilmiah yang dapat menggugurkan doktrin Marxisme-komunisme, dianggap oleh mereka sebagai kaum reaksioner dan kepala batu.

Selanjutnya, kita akan membuktikan pula adanya kontradiksi-kon­tradiksi dalam Marxisme-Komunisme, yang sekaligus paling menonjol dan paling mencolok, tetapi paling sedikit diperhatikan orang, yaitu suatu kontradiksi yang merupakan faktor utama penyebab kegagalan dalam mewujudkan cita-cita yang dinyatakan sendiri. Pendek kata, Marxisme tampil sebagai lawan utama Marxisme sendiri.

Menurut Ali Syari'ati, banyak kaum intelektual yang dipaksa me­nyadari kontradiksi ini; tanpa sepenuhnya berusaha mengatasi atau bahkan mengakuinya, telah menjelaskan kontradiksi ini dengan argumentasi yang paling rapuh. Mereka telah mengemukakan perbe­daan esensial antara Marxisme sebagai suatu ajaran dengan regim Marxis yang ada, dan menganggap regim Marxis telah menyimpang dari prinsip-prinsip Marxisme (sehingga regim-regim tersebut belum mencapai tujuan semula Marxisme seperti yang diimpikan oleh pendirinya). Lalu kaum intelektual ini berusaha mengatasi kontradiksi ini dalam pikiran mereka dengan saling lempar tuduhan dan kutukan seperti: "revisionisme"; "kultus individu"; "nasionalisme"; "embour­geisment"; "kolaborasi"; "Titoisme"; "Stalinisme"; "Maoisme", dan sebagainya.

Sebenamya kontradiksi tersebut terletak pada sumber ideologiriya sendiri. Suatu kontradiksi antara tujuan dan cara, kontradiksi antara manusia dalam filsafat Marxis dan manusia dalam masyarakat Marxis.

Apabila Marx berbicara mengenai manusia dan khususnya, apa­bila ia berbicara secara mendalam dan penuh gairah mengenai ke­kejian kapitalisme, kebudayaan borjuis dan organisasi sosialnya, industri Barat serta rnengenai pemborosan potensi manusia dalam sistem tersebut, ia memperdengarkan nada yang begitu mistis sehingga seseorang akan menganggapnya pengkhayal, filosof Platonis, moralis atau bahkan seorang pendeta. Dalam mengutuk sistem kapitalis yang berdasarkan kekayaan pribadi, upah pekerja, nilai uang, prinsip persaingan dan seterusnya, Marx sebagian besar bersandar pada konsepsi bahwa realitas manusia sebagai esensi mulia yang telah dinodai dan disempitkan oleh sistem ini, dan nilai rendah telah menggantikan nilai-nilai kemanusiaan.

Bahkan selagi Marx membicarakan materialismenya sendiri dalam hubungannya dengan manusia, nada yang ia pakai mengingat­kan kita pada kaum moralis. Ketika ia ingin menunjukkan alasan-­alasan mengapa materialisme menjadi dasar komunisme, ia menge­nakan pada materialisme dengan sifat-sifat yang merupakan bidang agama atau paling tidak filsafat moral. Ia memberikan warna idea­listis pada sosiologi Marxis: "Tidak diperlukan pandangan mendalam untuk memahami bahwa materialisme --karena pandangannya mengenai kebaikan bawaan, kesamaan intelegensia diantara semua orang, kapasitas mulia untuk mengalami, mengenal dan mempelajari kesamaan hak rakyat atas kesenangan dan sebagainya-- pasti ber­kaitan dengan komunisme dan sosialisme".

Tatkala dalam membela manusia dan memuji rakyat jelata; ia menyerang Kristen, ia memperdengarkan nada seorang Kristen dan menggunakan ucapan-ucapan yang lazim dipakai dalam karya-karya tentang moralitas religius atau idealisme moralis: "Prinsip sosial kristen mengajarkan ketidak-hormatan, kekejian, kehinaan, watak budak; rendah diri; pendeknya semua sifat yang rendah. Kaum pro­letar menolak untuk menerima pemerosotan martabat ini. Mereka memerlukan lebih banyak keberanian, harga diri, kebanggaan dan gairah untuk kemerdekaan daripada untuk mendapatkan roti". Marx-kah yang berbicara tentang rakyat jelata ini, atau Jean Jacques Rousseau, atau mungkin Ernest Renan atau John Stuart Mil1?

Tatkala ia berbicara mengenai keterasingan manusia dari dirinya, Marx adalah seorang humanis-spiritual yang memuji esensi manusia yang sejati, independent dan suci sebagai sumber asli sifat-sifat luhur serta tabiat transendental dan bebas, yang lebih mulia dari segala makhluk; "Semakin banyak bekerja membaktikan dirinya pada pekerjaannya, dan semakin kuat dunia asing yang diciptakannya, maka semakin miskinlah diri-individunya, dunia-bathiniahnya. Hal ini juga berlaku bagi agama: semakin dalam manusia menyerahkan dirinya kepada Tuhan, semakin kurang ia menjadi milik dirinya". Di sini kita lihat dengan jelas bahwa ketika mernbicarakan manusia, Marx meng­aku suatu dunia bathiniah dan suatu dunia lahiriah, suatu diri dan suatu lingkungan. Menarik sekali bahwa ia mengakui adanya hubungan kebalikan di antara keduanya. Jelas terasa bahwa ia di sini membela humanisme "Independent" atau dengan ucapannya sendiri "tabiat manusia yang mampu hidup sendiri" di hadapan Tuhan, masyarakat dan alam. Ketika Marx menyerang agama, ia mengangkat spiritual manusia lebih tinggi lagi, seakan-akan makhluk suci, si pencipta dirinya sendiri; sedangkan Tuhan, yang berarti manifestasi dari semua nilai moral suci dan absolut, adalah pantulan esensi manusia yang suci dan transendental.

Dalam semua karya yang ditulisnya bersama Engels, ia mengulas manusia sebagai realitas yang penuh dengan "sifat-sifat kebaikan" dan "nilai abadi yang mulia". Manusia bebas berpikir, mampu memilih suatu "sebab independent" yang lebih unggul atas penyebab material dalam alam, sejarah dan masyarakat. Manusia terbedakan oleh harga diri, keberanian, kreativitas, kecintaan pada sesama, kesiagaan untuk mengorbankan diri demi kepercayaannya dan rasa tanggung jawab terhadap sesamanya. Akhimya, ia juga pencipta nasib dan alam ­instrinkisinya sendiri, dan bahkan "rasul" dan juru selamat bagi bangsanya.

Inilah Marx, si filosof yang berbicara tentang manusia; Marx yang telah membangun humanismenya dari anasir yang berasal, langsung atau tak langsung, dari agama, aliran mistik, filsafat moral dan khususnya dari humanisme abad XVII seta sosialisme moral Jerman awal abad XIX. Karena itulah maka Andre Piettre, di antara sekian banyak orang, dengan segala kesungguhannya telah berbicara mengenai manusia "mistik atau spiritual" dalam humanisme Marx. Tidaklah berlebih-lebihan kalau orang secara blak-blakan menganggap si manusia Marx ini memuji dewa yang mengembara di bumi dengan kedua kakinya.

Meskipun demikian, segera setelah Marx "si filosof' menjadi bungkam, maka Marx "si sosiolog" merusak semua yang telah ia capai. Ia menyentakkan makhluk manusia yang sedang duduk di atas tahta ketuhanan ini dan membantingkannya ke tanah. Pencipta yang kuasa ini, yang telah menciptakan Tuhan, sejarah dan bahkan dirinya sendiri, serta telah mengubah alam agar sesuai dengan kesa­daran diri dan keinginan menguasainya, ternyata tiba-tiba telah dicip­takan oleh peralatan ekonominya sendiri. Peralatan itu sendiri adalah produk yang tak dapat dielakkan dari hukum materialisme dialektika. Alat-alat tersebut adalah dua hal: barang dan manusia.

Dengan cekatan Marx "si sosiolog" mengubah tabiat "manusia menjadi Tuhannya Marx" si filosof, menjadi barang. Ia membi­carakan kepribadian manusia dengan nada yang membuat marah atau setidak-tidaknya membikin takut alter-egonya sendiri: "Bagi manusia ia sosialis; kecuali bentuk manusia alamiah, semua hal dalam sejarah kemanusiaan adalah produk kerja". Engels datam eseinya "Peranan kerja dalam Manusia Kera", menyambung: "Kaum ekonomis mengganggap kerja sebagai asal-mula semua kekayaan. Tetapi kerja bermakna lebih jauh dari itu. Kerja adalah syarat esensial bagi semua pandangan, kerja telah menciptakan manusia itu sen­diri ......., sebenarnya, kerja yang telah mengubah kera menjadi manusia ..... Alat yang digunakan manusia untuk bekerja menentu­kan cara kerja yang merupakan infrastrukur. Sistem sosial, hak milik, sistem legal, pemerintahan; agama, filsafat, kesusasteraan, seni, nilai-­nilai moral; ideologi dan kebudayaan mengambil bentuk sesuai dengan sifat infrastruktur ini, bentuk yang terjadi selalu cocok dengan infrastruktur tersebut atau malah menjadi produknya".

Yang paling penting dan paling menakutkan, Marxisme Sosiologis mengemukakan konsep kapitalisme: eksploitasi, sengketa kelas serta hak milik pribadi sosial dalam satu sikap pokok yang berbeda dan bertolak belakang dengan Marxisme filosofis. Dalam sosiologi Marxis dan filsafat sejarahnya, kita melihat digalinya kuburan menakut­kan oleh sosiolog dan ekonom Marx untuk "manusia-tuhan" yang diciptakan oleh filosof anthropolog Marx. Sekarang dapat kita pahami lebih baik ucapan Edouard Berth, seorang Marxis terkenal, bahwa secara esensial Marxisme adalah filsafat kaum produsen.

Dengan logika yang menganalisa sejarah, masyarakat, kehidupan, kebudayaan, pemikiran dan cita-cita kemanusiaan seperti ini, maka apakah makna ucapan orang komunis bahwa tatanan kapitalis menimbulkan kerusakan moral dan nilai-nilai, perusakan humanisme dan esensi manusia? Karena selama Marx, dalam analisis-analisisnya mengenai masyarakait sejarah, berusaha sekuat tenaga untuk men­jaga agar sosiologinya tetap setia pada pandangan ilmiah yang gersang dan kesepakatan kaku dari "realitas yang ada", sehingga ucapan-­ucapannya menjadi tak berisi ketika ia berbicara mengenai kebenaran, nilai, penindasan dan keadilan, kebasan atau perbudakan selama masa bekerja dengan tangan dan pertanian?

Dengan dasar pandangan ini, kita bukan saja harus menyebut semua sosiolog selama sebelum Marx sebagai kaum utopis, tetapi juga bahwa semua orang yang telah berjuang demi keadilan, kebeba­san, juru selamat dan pemimpin, massa yang berjuang melawan perbudakan, feodalisme, eksploitasi, sistem-sistem kekayaan pribadi dan bahkan menentang agama-agama, kebudayaan-kebudayaan dan kebiasaan-kebiasaan yang penuh takhayul dan mandeg --pada hakekatnya berjuang dalam kesia-siaan. Disebabkan tidak menyadari karakter yang menentukan dari cara produksi pada masanya, mereka menjadi pemimpin dan pengkhayal. Andaikata mereka benar-benar memahami filsafat sejarah materialistis dan sosialisme-ilmiah, tentu mereka akan menerima konteks sosial dan warna hukum pada masa mereka, juga hak milik pribadi dan gaya hubungan interpersonalnya, bagaimanapun tidak manusiawinya. Mereka akan menunggu dengan sabar munculnya "almasih yang dijanjikan, sang mesin yang akan mengolektifkan kerja"! Lalu melalui mukjizat dialektika, manusia akan hidup di sana sebagai dewa yang telah terpuasi? Bagaimana Marx akan mengobati moral yang telah dirusak oleh tatanan borjuis? 22

Jadi kontradiksi-kontradiksi yang kita jumpai di dalam doktrin-­doktrin Marxisme-Komunisme adalah fakta-fakta tambahan bahwa logika Marx memang rancu dan secara ilmiah sulit untuk bisa diper­tanggung-jawabkan. Kerancuan berpikir ini sangat mungkin timbul pada diri Marx, apabila kita melihat latar belakang sejarah lahimya Marxisme-komunisme. Teori-teori Feuerbach, Hegel, Darwin, Proudhon dan Ricardo, dia ambil seenaknya dan mencocokkannya dengan kerangka yang ia telah siapkan, di mana ia soolah-olah ada­lah manusia yang lengkap dan serba tahu. Padahal Marx tidak melakukan peninjuan yang seksama dan penelitian yang mendalam tentang kelemahan teori-teori tersebut dan kontradiksi-kontradiksi yang terdapat di dalamnya. Akibatnya dari teori yang beraneka ragam itu dan yang mempunyai kelemahan-kelemahan, yang kemu­dian ia susun dalam suatu kerangka sekadar jadi, tidak menjelma menjadi suatu kebulatan yang utuh, tidak menjadi satu sistem yang bulat, tetapi berderai, berdiri sendiri-sendiri yang saling berlawanan dan bertentangan.

Oleh karena itu kebesaran Marx dalam menyusun teori-teorinya bukan dalam satu kebulatan yang utuh sebagai suatu sistem, tetapi justru dalam kontradiksi-kontradiksi dan kerancuan berpikir; dan inilah bukti bahwa Marxisme-Komunisme lebih bersifat dogmatis ketim­bang ilmiah.

Selanjutnya, karena kepicikan-kepicikan ilmu dan kekerdilan ber­pikir di kalangan umat Islam, ada yang mengira bahwa Islam --di luar penentangannya pada Marxisme dalam masalah ketuhanan-- me­miliki banyak persamaan dalam pendekatannya terhadap manusia dan masalah sosial. Kemiripan-kemiripan ini telah banyak dibicarakan oleh orang-orang seperti Michae Alqaf; Omar Uzgham, Bashir Muhammad; Bashir Ali dan di Barat oleh Maxime Robinson. Dan sangatlah menarik bahwa pada kutub yang berlawanan; politisi kolonial tertentu --termasuk beberapa orang yang memimpin pembantaian di negara-negara muslim jajahan di Afrika, seperti Jenderal Salam dan Jenderal Charbonneau di Aljazair-- telah melontarkan tuduhan yang sama.terhadap Islam!

Pertama, kita mungkin mendapatkan unsur-urisur yang sama dalam dua ajaran pemikiran yang bertentangan manapun: antara fasisme Jerman dengan Zionisme Yahudi; antara humanisme mate­rialis dengan kapitalisme.

Kedua, kemiripan cita-cita biasanya dikacaukan dengan kemiripan ideologi. Ideologi yang bertentangan boleh jadi mempunyai cita-cita yang sama. Peradaban, kemajuan ilmiah, kemakmuran material ada­lah cita-cita kolonialis, yaitu mereka percaya bahwa dengan dijajah­nya oleh masyarakat maju, maka masyarakat yang terbelakang akan bisa mendapat dan mencapai peradaban, kemajuan ilmiah dan teknologi serta kesejahteraan material. Jadi tujuan yang sama mungkin didapatkan dalam dua ideologi yang bertentangan secara diametral, yaitu kolonialisrrie dan gerakan-gerakan kemerdekaan.

Cita-cita manusia melampaui ideologi, juga batas-tatanan dan periode sejarah. Cita-cita manusia timbul dari sesuatu yang khas manusia; cita-cita ini memberituk nilai moral abadi dalam diri manusia. Bebas dari tekanan, tumbuh ke arah kesempumaan, keadilan, kebe­naran, kesadaran diri manusia, keutamaan masyarakat di atas indi­vidu; ukuran yang sama bagi nilai dan prestasi, perbudakan, kebodohan dan kelemahan; kesempatan yang sah untuk hidup dan berkembang; penghapusan konflik golongan (kelas), pengasingan ras, persaudaraan atau lain-lain bentuk pengasingan kolektif, ketidak-adilan sosial, ekonomi dan moral, semua nilai ini adalah cita-cita yang sepanjang sejarah ke­hidupan sosial manusia menjadi slogan bangsa yang bebas dan cinta damai.

Orang mungkin menyatakan bahwa nilai-nilai tersebut merupakan dasar humanisme yang sebenamya dan asli dalam arti yang seluas-luasnya. Dari sinilah setanjutnya timbul perbedaan-­perbedaan dalam berbagai macam sistem pemikiran, masing-masing menghasilkan ajaran yang berlainan ketika menafsirkan cita-cita itu, dan lebih khusus lagi dalam cara mencapainya: agama, dengan menghubungkan manusia dengan asal dunia; filsafat, dengan menying­kapkan hukum aturan hidup yang dapat dipahami; liberalisme borjuis Barat, dengan kebebasan individu dan usaha-usaha persaingan dalam bidang produksi material yang membawa kepada pencapaian ke­kuasaan dan kemajuan pengembangan ilmu; Marxisme, dengan cara hak milik dan kekuasaan negara menuju ke tujuan yang sama; sufisme, dengan kembali kepada diri sendiri demi pertumbuhan jiwa, kecu­kupan diri secara intelektual dan kebebasan jiwa dari ikatan hawa nafsu; sebaliknya materialisme, dengan menyesuaikan diri pada sifat alam dan seterusnya.

Kita sekarang harus bertanya, methoda dan sistem apakah yang ditawarkan oleh Islam, Kristen, Hindu, idealisme Hegel, dialektika Marxis dan lain-lain untuk mencapai cita-cita manusia yang abadi?

Bila pertanyaan telah diajukan, maka kita harus menjawab dengan jujur, bahwa sebaliknya dari kepercayaan yang dianut oleh orang-­orang yang mencari-cari kesamaan/kemiripan "sikap dalam lslam dan humanisme Marxis", kedua ideologi yang sama menyeluruh ini adalah "sama sekali bertentangan". Bahkan kita harus berusaha menunjukkan adanya pertentangan ini dengan merujuk kepada hal-hal yang dianggap sama, yang oleh orang dinilai mirip; disebabkan kenyataan bahwa satu-satunya hal yang dapat dibandingkan hanyalah bahwa kedua ideologi ini adalah lengkap.

Ideologi-ideologi lain sebagian besar bersifat parsial, didasarkan pada satu bidang kegiatan manusia. Misalnya, bidangnya materialisme dan naturalisme adalah filsafat; sedangkan bidang politik, ekonomi, moral, soiologi, anthropologi dan penulisan sejarah; para pengikutnya diberi kebebasan mereka boleh masuk ke dalam golongan kiri atau ke dalam golongan kanan; mereka boleh menganggap sejarah sebagai bersifat methodis dan ilmiah atau tidak methodis dan tidak ilmiah. Mereka boleh menganggap manusia suatu makhluk yang me­miliki watak bawaan tertentu, atau sebagai sesuatu yang dihasilkan dari dan dibentuk oleh alam, kebudayaan atau alat-alat produksi. Hal yang sama berlaku bagi eksistensialisme, sampai pada tingkat bahwa seseorang eksistensialis bisa saja menjadi seorang yang beriman atau seorang atheis, sosialis atau kapitalis. Nasionalisme bersandar pada gerakan kemerdekaan politis dan integritas kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Seorang nasionalis mungkin saja mengakui idea­lisme atau materialisme, fasisme atau cita-cita demokrasi, ketaqwaan atau atheisme. Hal ini juga berlaku untuk agama, karena agama yang didasarkan pada hubungan manusia dengan yang ghaib atau yang suci. Hukum dan peraturan agama (selain Islam) bersumber dari hasrat untuk menata hubungan ini, atau dari nilai moral dan pen­didikan yang memelihara hidup dan sifat khusus agama tersebut bagi penganutnya.

Tetapi Islam dan Marxisme-Komunisme adalah dua ideologi yang mencakup setiap dimensi kehidupan dan pemikiran manusia. Dengan kata lain keduanya mempunyai kosmologi khusus, bentuk organisasi sosial khusus, filsafat sejarah dan harapan masa depan khusus serta cara untuk menyebarkan pandangan tersebut dengan khusus pula. Keduanya berkepentingan dengan kehidupan pribadi dan sosial manusia di bumi ini. Tetapi dalam semua bidang tadi, dua ideologi tersebut secara diametris bertentangan.

Islam dan Marxisme-Komunisme sama sekali bertentangan dalam ontologi dan kosmologi. Ringkasnya, Marxisme berdasarkan pada materialisme dan mendapatkan sosiologi, anthropologi, etika dan filsafat kehidupannya dari materi. Alam Marxis, misalnya, yakin alam materialis, sebagaimana dikatakan Marx, adalah "dunia yang tidak berperasaan dan tak berjiwa", dimana manusia tak punya tujuan "nyata". Sebaliknya kosmologi Islam bersandar pada kepercayaan pada yang tak terlihat (yang ghaib), didefinisikan sebagai aktualitas yang tak diketahui; yang ada di luar gejala material dan natural yang tak dapat ditangkap oleh indera dan tak dapat di cerap secara intelek­tual, ilmiah dan empiris; dan merupakan tatanan hakikat yang lebih tinggi dan titik pusat dari semua gerak, hukum dan gejala dunia ini.

Al-Qur·an, pada awal surat Al-Baqarah menyatakan bahwa per­caya pada yang ghaib adalah prasyarat petunjuk dan sumber ketaqwaan: "Alif lam mim. Ini adalah kitab yang tak ada keraguan di dalamnya, tuntunan bagi yang taqwa, yang percaya kepada yang ghaib; yang mendirikan shalat dan membelanjakan apa yang telah Kami berikan kepada mereka" (Q.S. 2 : I-2). Yang ghaib ini sebenamya Zat Yang Mutlak dan Iradah eksistensi. Berbeda dengan idealisme, yang menganggap gejala dunia material timbul dari idea dan berbeda dengan materialisme yang membayangkan bahwa idea muncul dari dunia material; Islam menganggap materi dan idea membagi manifestasi (ayat) yang berasal dari Zat Mutlak yang ghaib, dengan dernikian menyangkal materialisme dan idealisme sekaligus. Islam juga meng­akui eksistensi dunia alamiah yang terpisah dari idea, dan juga tetap berpendapat bahwa manusia adalah makhluk tempat idea itu hidup, mempunyai kebebasan dan kemuliaan yang berhubungan dengan alam material, masyarakat dan produksi.

Marx berusaha meniru Feuerbach dan kaum neo-humanis lainnya, untuk membebaskan manusia dari kehidupan sebagai wujud ekonomis dan keterasingan intelektual dan politis manusia dari dirinya; mencoba mengembalikan keutuhannya dengan membuang spesialisasi yang membagi-baginya. Ia berharap, seperti yang dikatakannya, untuk me­ngembalikan manusia pada nilai-nilai kemanusiannya, kekuatan bawaan dan penguasaan diri; dan mendorong manusia untuk mencapai kesa­daran diri serta membebaskannya dari semua tekanan. Karena kega­galannya untuk memahami faktor selain dari materi dan karena konllik yang tak disadari dan tidak dirasakannya, Marx akhirnya menengge­lamkan manusia yang ia muliakan dalam ideologinya ke dalam lubang materi yang tak berperasaan, dan dalam analisis akhir menggolong­kannya diantara benda-benda alamiah.

Kenyataannya, Marx mengalami kontradiksi yang sama seperti yang dialami oleh semua pemikir materials, yang berusaha untuk mem­bangkitkan dan membela humanisme. Karena tetap bependapat bahwa hanya satu eksistensi, yakni materi sebagai humanis sia-sia ia berjuang untuk menerima yang kedua, yakni manusia. Oleh sebab itu dari suatu sudut pandangan tertentu, apabila mereka berbicara mengenai ke­satuan dalam hubungannya dengan wujud dan kemudian mengajukan konsep humanisme, mereka berhadapan dengan dualisme --karena orang tidak mungkin melakukan keduanya-- yaitu mengakui rnaterialisme dan dengan melepaskan manusia dari benda-benda mate­rial, kemudian mengakui keutamaan dan kebebasan darinya.

Demikian juga kaum idealis yang percaya pada humanisme, juga terlibat dalam kesulitan-kesulitan. Mereka yang menolak dunia eksternal dan menghapuskan validitasnya sebagaimana yang dapat dicerap, dengan memberi keutamaan pada idea (dengan suatu kecerdasan kemanusiaan), tentu memperkokoh humanisme atau keutamaan manusia. Namun dengan menyangkal aktualitas dunia material dan menolak ilmu (jembatan antara idea dan yang aktual), mereka melemparkan manusia sebagai makhluk utama demi suatu jiwa yang dikeluarkan dari dunia melankolis mutlak tanpa kriteria untuk mem­bedakan antara yang benar dan yang salah, pengetahuan dan kebo­dohan, yang baik dan yang buruk, dan yang nyata dan yang bayangan. Seperti kaum Sophis pada zaman Yunani, mereka akhirnya jatuh dalam pangkuan egosentrisme. Bukankan humanisme tak lebih daripada egosentrisme?

Jadi kita tahu bahwa ternyata manusia menjelma menjadi idea­listis, yakni sebentuk jin. Tetapi Islam tidak hanya menyelesaikan pertentangan alam, manusia dan Tuhan melalui prinsip tauhid; melain­kan juga menyatakan kebenaran bahwa subyektivitas manusia dan alam material adalah tanda-tanda atau manifestasi yang berbeda dari hakikat Tunggal Yang Maha Tinggi mengatasi pertentangan antara idea dan materi, dan pertentangan antara manusia dan alam. Bahkan ketika melihat realitas manusia dan aktualitas material sebagai dua prinsip yang berbeda, Islam membangun suatu ikatan fundamental, suatu hubungan eksistensial diantara keduanya, seraya menganggap dari sumber yang sama. ­

Pandangan tentang pengaruh "mengasingkan dari agama", yang dipinjam Marx dari Feuerbach, bukan hanya tak dapat diterapkan dalam Islam, tetapi sebaliknya --keterasingan manusia dari dirinya di hadapan Tuhan-- juga diganti dengan "kesadaran manusia tentang dirinya dalam hubungannya dengan dirinya". Untuk memperlihatkan hal itu, marilah kita kembali pada pemikiran Feuerbach dan kemudian Marx (agar nantinya kesimpulan mereka akan mudah disangkal). Tuhan adalah ciptaan manusia. Tuhan adalah manifestasi sifat manusia; manusia telah memproyeksikan nilai-nilai kekuatan esensial dirinya ke langit dan berusaha memujanya dalam bentuk zat transendental yang disebut Tuhan.

Jika kita terima pendapat ini, maka kita telah menyangkal konsepsi keterasingan manusia dari dirinya, karena dalam hal ini "Tuhan" menjadi searti dengan "manusia". Theolatry ternyata menjadi Antropolatry; dan keterasingan manusia dari dirinya melalui Tuhan, diubah menjadi keterasingan dari dirinya melalui manusia.

Dalam pada itu, bukanlah kesadaran manusia terhadap dirinya dalam hubungan dengan dirinya, atau kesadaran diri manusia adalah cara lain untuk mengatakan "humanisme?" Jika begitu, theolatry akan mencirikan suatu agama yang di dalamnya manusia, dalam dunia material yang terus-menerus mengancam dengan material­isme, degradasi ke tingkat hewan dan kekeliruan kekeliruan moral, akan menjadi penyembah yang taat pada nilai-nilai suci transen­dentalnya! Kita lihat bahwa dalam serangan Marx yang gencar ter­hadap agama, logikanya menjungkirbalikkan kesimpulannya sendiri!

Menyimpulkan bahwa theolatry dalam bentuk sadamya yang telah berkembang tidak menghilangkan keutamaan manusia dan tidak pula menimbulkan keterasingan manusia dari dirinya, melainkan pada kenyataannya malah memberi keutamaan pada manusia dan kesucian pada nilai kemanusiaan serta mengungkapkan humanisme yang tinggi, yang bermakna dan bernilai; berarti mencapai suatu kesimpulan yang benar-benar dengan lslam.

Berbeda dengan pandangan kaum Katholik dan kaum Sufi yang menyatakan adanya pertentangan antara Tuhan dan manusia (misalnya yang membuat manusia "sirna/fana di hadapan keabadian (baqa), dan menggambarkannya terlempar dari takdir Tuhan"), maka dalam Islam, dengan prinsip pendelegasiannya (misalnya anggapan bahwa manusia memiliki kebebasan, kemampuan bertindak dan nasib); manusia bebas dari determinasi material dan jabariah. Kita mengetahui keinginan bebas yang menjadikan-nya kuasa memilih ini membuat manusia menjadi "khalifah Tuhan" di bumi. Bila manusia sudah mencapai tingkat seperti ini di bumi (walaupun kaum materialis berusaha mendewa-dewakan manusia sebagaimana anggapan Marx, namun pandangan dunia kaum materialis masih saja terlalu sempit dan kecil untuk membayangkan konsep seperti ini), Tuhan menyuruh semua ma­laikat sujud di hadapannya dan membuat semua kekuatan alam tunduk padanya.

Kita tahu bahwa manusia dalam pandangan dunia Islam adalah suatu iradat (kehendak) yang memerintah dalam hubungannya dengan alam. Dalam hubungan dengan Tuhan, sebagai hamba yang berperan sebagai khalifah. Kita lihat betapa asingnya apa yang disebut oleh Marx sebagai musibah agama dalam konsep yang terdapat dalam kandungan ayat Al-Qur'an.

Faktor terpenting yang mendorong Marx untuk berkata "saya jijik kepada Tuhan" adalah pada prinsip ibadat dan ketaatan yang ter­dapat dalam hubungan antara Tuhan dengan manusia. Tapi berbeda dari Marx yang menyimpulkan prinsip ini dari bentuknya yang rusak dan rendahan --yang lazim bagi orang yang terbelakang dan yang percaya takhayul serta melihatnya di dalam suatu bentuk kesengsaraan, kemalangan dan keterasingan manusia dari dirinya-- Islam, dalam firman Tuhan, mengartikan ibadat sebagai suatu faktor untuk menumbuhkan dan menyempurnakan sifat Tuhan dalam diri manusia.

Kita tahu bahwa dalam filsafat Islam; hubungan antara manusia dengan Tuhan bersifat timbal-balik. Pengetahuan mengenai diri dan pengetahuan mengenai Tuhan menjadi searti; atau, kemungkinan lainnya adalah pengetahuan mengenai diri berfungsi sebagai pendahuluan bagi pengetahuan mengenai Tuhan. Kita kutip di sini ucapan mendalam dari seorang  "Bayazid Besta": "Bertahun-tahun aku mencari Tuhan dan menemukan diriku; sekarang aku mencari diriku; kutemu­kan Tuhan".

Amat bertentangan dengan pendapat Feuerbach dan Marx, menurut Islam bukannya manusia yang telah membuat Tuhan, meletakan nilai­-nilainya sendiri di dalam-Nya dan sekarang menyernbahnya; melainkan Tuhanlah yang telah membuat manusia; dan meletakkan nilai-nilai-Nya di dalam manusia dan kemudian memujinya.

Dapat dimengerti bahwa kita tidak lagi berbicara tentang per­tentangan antara agama dengan materialisme atau antara Islam dengan materialisme dialektika, melainkan masalah manusia. Setiap ideologi, baik agama atau anti agama, selalu berkisar di seputar manusia; dan memang di sinilah Marxisme amat berbeda dengan Islam. Perbedaan yang makin besar ini merupakan akibat alamiah dari dua pandangan dunia yang bertentangan, yang melahirkan kedua golongan ini, dan yang mendasari keseluruhan sikap mereka dalam menafsirkan semua gejala. Dengan titik tolak inilah Islam dan Marxisme terbukti tak dapat rukun berdampingan dalam semua bidang: politik, ekonomi, etika dan sosial. Islam menafsirkan dan menilai manusia dengan dasar tauhid, sedangkan Marxisme menilai manusia dan menafsirkannya dengan dasar "taulid" (produksi). 23

Islam di pihak lain, sembari mempertahankan bahwa sifat-sifat ketuhanan dalam manusia (sebagai lawan prinsip Iblis) berasal dari suatu yang lebih unggul daripada sifat-sifat material --materi, infrastruktur, produksi masyarakat dan seterusnya-- sanggup ber­bicara tentang nilai-nilai moral yang utama dan tetap, tentang sifat asal (fithrah) yang baik dan suci serta tentang sifat progressif dan kreatif umat manusia.

Marx dan orang-orang komunis berkata bahwa kebaikan adalah pembawaan manusia; tetapi terlebih dahulu harus dijawab pertanyaan: apakah yang disebut kebaikan dalam kosmos materialistik itu? Dan setelah itu, dalam arus deras yang padanya semua dapat diubah, berbicara mengenai situasi yang tak berubah adalah betul-betul anti dialektika.

Dari semua ideologi tadi hanya Marxisme sajalah yang telah membangun ideologi lengkap yang beraneka segi; dan Islam sebagai suatu agama dan ummah (bangsa), bertentangan dengan Marxisme dalam setiap dimensi. Marxisme, diantara semua ideologi baru, bersifat unik, karena Marxisme-komunisme berjuang untuk mendasari setiap aspek kehidupan manusia --material, dan spiritual; filosofis dan praktis, individual dan sosial-- dengan pandangan dunia materialistik­nya yang khas. Karena alasan itu, sistem tersebut --kalau hendak dikatakan sistem-- menimpakan malapetaka materialisme pada setiap dimensi kehidupan manusia.

Di antara semua agama historis, hanya Islam yang mempunyai keluasan seperti ini. Islam tidak membatasi diri pada perintah-perintah mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan, atau penyucian jiwa (ruh) --seperti yang dilakukan Kristen dan Budha-- Islam menampilkan diri sebagai ajaran yang meliputi berbagai aspek kehidupan kemanusiaan, sejak pandangan filosofis sampai pada kehidupan sehari-hari individu. Jadi, kedua ajaran ini berdiri di depan manusia dan mengundang mereka untuk memilih salah satu diantara dasar intelektual dan pandangan yang bertentangan.

Keduanya, Marxisme dan Islam, masing-masing mempunyai sistem yang menyeluruh dan yang tak bisa dipecah-pecah. Pertama, semua anasir dan dimensinya berhadapan di sepanjang garis dunianya yang tersendiri; saling bertentangan secara diametris. Menambah suatu unsur atau dimensi pada salah satu dari keduanya, atau menyingkir­kannya, hanya akan mengakibatkan keruntuhan struktur keseluruhan. Kedua, suatu ideologi adalah suatu keseluruhan yang saling berha­dapan; mempunyai jiwa esensi yang tunggal, dan sesuatu raison de'etre yang unik. Usaha untuk memisahkan ke dalam anasir penyusunan­nya akan berakibat seperti membunuhnya dan kemudian membelah mayatnya.

Inilah sebabnya mengapa kedua ideologi ini (marxisme-kornunisme dan Islam); sebagai dua sistem, bertentangan dalam segala hal. Dan ini pula sebabnya; seperti yang disimpulkan oleh Henry Martinet, "Marxisme; walaupun berada dalam kondisi ekonomi dan politis yang menguntungkan di berbagai waktu dalam masa seratus tahun ter­akhir ini, tidak berhasil sedikit pun dalam masyarakat Islam (ber­lawanan dengan Timur Jauh dan Amerika Latin). Orang harus mencari penyebabnya melulu dalam Islam". Mengapa? Sebab, tidak seperti Kristen dan Budha, Islam menolak Marxisme tidak hanya dalam dimensi filosofisnya saja, melainkan dalam setiap dimensi dan aspek, karena Islam mempunyai pandangan tersendiri dalam aspek-aspek tersebut.

Karena Marxisme-Komunisme didirikan atas dasar Materialisme dan menganggap asal esensial manusia adalah debu, maka huma­nismenya berakhir dalam penyesatan manusia sampai kepada status obyek.

Karena Islam mendasari humanisme Ketuhanannya dengan tauhid maka pada tingkat ilmiah, Islam melukiskan manusia sebagai tanah (debu), sedangkan pada tingkat analistis eksistensial, Islam menaikan­nya dari debu ke arah Tuhan.

Karena Marxisme menganggap nilai-nilai kemanusiaan sebagai gejala relatif yang berhubungan dengan suprastruktur masyarakat, berdasarkan cara produksi, maka Marxisme menyebabkan nilai-nilai itu jatuh sampai tingkat kegunaan material.

Karena Islam memperhitungkan nilai-nilai pancaran sifat-sifat Ketuhanan dalam lingkungan kemanusiaan, walaupun menganggap ekonomi adalah masalah utama, sanggup melapisinya dengan sistem nilai ini dan membedakan prinsip dari cita-cita. Sebab Islam menang­kap manusia memancarkan kenyataan eksistensial dari debu/Tuhan; Islam memperhitungkan dualisme keuntungan dari nilai (ekonomi dan moral) dalam kehidupan kemanusiaan tanpa harus menolak yang satu dari yang lain, sebagaimana dilakukan oleh agama-agama mistik dan Marxisme.

Marxisme ketika hendak menolak agama; menyebutkan Tuhan sebagai bagian luar dari manifestasi esensi kemanusiaan, seraya menempatkan manusia pada kedudukan Tuhan dalam alam. Tetapi ketika Marxisme berniat mempertontonkan materialisme historis, ia membuat manusia ini (si pencipta Tuhan), menjadi produk dari per­alatan produksi.

Islam menempatkan manusia dalam dunia tauhid, yang padanya Tuhan, manusia dan alam memperlihatkan keharmonisan yang ber­makna dan bertujuan. Ia memperkenalkan Adam sebagai esensi pokok species manusia, sebagai debu yang ke dalamnya Tuhan meniupkan roh ciptaan-Nya, sebagai penengah antara jiwa dan materi. Lebih lanjut lslam menempatkan amanat ketuhanan semata-­mata dalam tangannya; dengan ini Islam memperkenalkan suatu dasar di luar materi bagi prinsip tanggung jawab kemanusiaan.

Pertentangan dalam hal cara Marxisme-Komunisme dengan IsIam dalam menghadapi kemanusiaan dapat diikhtisarkan dalam contoh-­contoh sebagai berikut:

1. Karena didirikan atas dasar pandangan dunia yang sepenuhnya materialistik, maka Marxisme tidak mampu mengangkat esensi, sifat atau keadaan manusia keluar dari batas sempit materialistis; ia menggolongkan manusia bersama semua makhluk lainnya dalam batas-batas suatu alam tak sadar dan tanpa tujuan.

Sedangkan Islam, dengan berpegang pada pandangan tauhid, sang­gup membenarkan manusia yang memiliki sifat-sifat Ketuhanan, memberinya sifat-sifat transendental, memperluas jalan hidupnya sampai batas-batas yang palingjauh; dan dengan begitu meletakkan manusia dalam suatu alam yang hidup dan bermakna, yang dimensinya jauh meluas keluar, bahkan lebih dari yang dapat dilukiskan oleh science.

2. Dengan hanya menerima konsepsi materi ilmu alam klasik, melalui analisis materialistiknya, Marxisme dipaksa untuk menarik kembali semua yang ia telah katakan mengenai keagungan esensial dan keutamaan manusia. Jadi makhluk yang diimpikan oleh Marx si filosof dan si humanis (pencipta Tuhan) tiba-tiba merosot menjadi seperangkat barang dagangan, suatu produk dari peralatan yang digunakan dalam kerajinan, pertanian dan industri.

Sedangkan Islam, dalam menjelaskan dunia materi dan sifat pri­modial manusia sebagai dua tanda dari satu wujud agung dan ke­sadaran mutlak (Tuhan), sanggup sekaligus menerima eksistensi timbal-balik manusia atau lingkungan dan lingkungan atas manusia, dan juga --dalam hal manusia bertindak sebagai sebab dalam rantai kausalitas (sebab-akibat)-- untuk menegakkan status manusia tanpa mengacu pada determinasi alami dan sosial. Islam menjaga manusia agar tidak terpeleset ke dalam lubang fanatisme kaum materialistis, historis atau sosiologis, supaya keutamaan manusia tidak berubah menjadi keutamaan materi atau peralatan.

3. Dengan tetap setia pada realisme, Marxisme tidak mau berbicara mengenai nilai-nilai atau untuk membuat penilaian atas dasar nilai­nilai. Sedangkan Islam, yang menegakkan suatu kepercayaan pada sum­ber absolut nilai-nilai di luar alam empiris, dapat secara logis membenarkan nilai-nilai itu.

4. Karena menganggap manusia sebagai produk lingkungan sosialnya, yang pada gilirannya adalah keseluruhan dari struktur dan keadaan yang terus berubah, Marxisme tidak mampu mendasari dirinya dengan suatu prinsip konstan seperti esensi kemanusiaan atau realistis kemanusiaan. Karena telah menolak keduanya --Tuhan dan sifat primordial manusia-- maka Marxisme melepaskan dasar otentik nilai-nilai kemanusiaan yang membangun bangunan moral. Karena­nya, seperti yang dikatakan Lenin: "semua pembicaraan mengeinai prinsip moral adalah kebohongan".

Sebagaimana Islam memelihara eksistensi .prinsip konstan dalam alam, yang di atas itu science didasarkan, Islam menyatakan bahwa prinsip konstan terhadap sifat primodial manusia dan mem­bentuk dasar-dasar moral. Menurut Islam, nilai-nilai kemanusiaan sama otentiknya dan dapat dibuktikan sebagaimana hukum alam. Kebalikan dari Marxisme, yang mencoba untuk menyamakan nilai-­nilai tersebut dengan kebiasaan sosial dan mengubur nilai-nilai tersebut pada kedalaman materialisme ekonomis dan sosial; Islam sepenuhnya ingin membebaskan nilai-nilai dari kondisi yang dapat diubah tapi bersifat paksaan dari desakan kehidupan material dengan mengakarkan nilai-nilai itu dalam sifat primodial manusia dan mempertunjukkan bahwa nilai-nilai itu adalah pancaran dari Yang Mutlak, yang bersinar di atas hati nurani manusia.

5.Dengan menggabungkan dialektika pada materialisme agar bisa menjelaskan perubahan historis dan sosial, maka Marxisme pun sampai pada determinisme materialistik, yang padanya manusia mengorbankan keutamaannya dan menjadi barang mainan proses kontradiksi buta ini. Oleh karenanya, Marxisme menolak apapun yang telah dinyatakan dalam humanismenya dan sepenuhnya me­lucuti semua kemerdekaan dan tanggung jawab dari kemanusiaan. Sedangkan Islam, karena melihat elemen kontradiksi ini dalam diri manusia, tidak menolak kemerdekaan (memilih) atau konsekwensi­nya (tanggung jawab), tapi menganggapnya lahir dari kontradiksi ini. lslam mendefinisikan manusia sebagai makhluk dalam kontradiksi, mempunyai dua esensi tanah dan roh; dan sebagai kemauan yang boleh memilih salah satunya.

Tanggung jawab kemanusiaannya mendesaknya untuk menyediakan sebagian (dari yang bersifat) duniawi untuk berbakti kepada Tuhan, dengan pertumbuhannya, dan dengan begitu mencapai kejernihan eksistensial dan kemurnian jiwa. Dari ikhtiar tersebut di atas dapat disimpulkan secara umum, seba­gaimana dirumuskan oleh Iqbal, pemikir Islam kontemporer, yang berucap: "Islam dan komunisme, keduanya berbicara me«genai manusia dan mengundang manusia kepada dirinya; tetapi komu­nisme telah bersusah payah untuk menyeret manusia dari Tuhan kepada debu, sedangkan Islam, kebalikannya, berjuang untuk mengangkatnya dari debu kepada Tuhan". Kita melihat dengan jelas bahwa Islam dan Marxisme-Komunisme bergerak pada arah yang berlawanan di jalan humanisme, dengan akibat bahwa salah satu dapat dibenarkan hanya dengan menolak yang lain. 24

Untuk memperknat kesimpulan kita di atas, tentang perbedaan dan pertentangan antara Marxisme-Komunisme dengan Islam, alangkah baiknya kita salinkan sebagian dari hasil musyawarah/muktamar Alim Ulama seluruh Indonesia; yang diselenggarakan pada tanggal 8-11 September 1957 di Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia, yang dihadiri oleh 325 orang Ulama. Keputusan tersebut antara lain berbunyi:

Terhadap ajaran Komunis:
- Ideologi atau ajaran Komunis dalam lapangan filsafat berisi atheisme, dan anti agama;
- ldeologi atau ajarah Komunis dalam lapangan sosial menganjurkan pertentangan kelas dan perjuangan kelas;
- Ideologi atau ajaran komunis dalam lapangan ekonomi adalah meng­hilangkan hak perseorangan;

Ideologi atau ajaran demikian itu bukan saja berlawanan dengan ajaran Islam pada khususnya dan agama-agama lain pada umumnya, akan tetapi merupakan tantangan dan serangan terhadap hidup keaga­maan pada umumnya.

Memutuskan:

- Ideologi atau ajaran komunis adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya;
- Bagi orang Islam yang menganut ideologi atau ajaran komunis dengan keyakinan dan kesadaran, maka kafirlah ia dan tidak sah menikah dan menikahkan orang Islam, tidak pusaka mempusakai dan haram jenazahnya diselenggarakan setara Islam;
- Bagi orang Islam yang memasuki organisasi atau partai yang ber­ideologi komunis seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Pemuda Rakyat (PR), dan lain-lainnya, maka sesatlah ia, dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka agar meninggalkan partai dan organisasi tersebut;
- Haram hukumnya bagi umat Islam untuk mengangkat atau memilih Kepala Negara atau Pemerintah yang beridiologi komunis;
- Memperingatkan kepada Pemerintah Republik Indonesia agar ber­sikap waspada terhadap gerakan komunis dan atheisme di lndonesia;
- Mendesak kepada Pemerintah Republik lndonesia (Soekarno) untuk mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa PKI dan mantel or­ganisasinya sebagai partai dan organisasi terlarang di indonesia. 25

Keputusan syar'i para ulama lndonesia ini, menunjukkan betapa besar bahaya yang akan ditimpakan oleh Marxisme dan Komunisme dalam mengancam eksistensi Islam dan kaum muslimin. Kewaspadaan para Alim-ulama Indonesia ini membuktikan kecerdasan intelektual dan mengerti segala strategi dan taktik kaum Marxis-komunis, karena terbukti pada tahun 1965, delapan tahun sesudah peringatan para Alim-­ulama kepada Pemerintah RI tidak digubris, kaum komunis melakukan coup de'tat yang menewaskan enam orang Jenderal Angkatan Bersenjata RI dan pembunuhan ratusan ribu rakyat Indonesia, yang diiringi oleh kehancuran ekonomi dan moral secara total.

Dalam hubungan bahaya yang akan ditimbulkan oleh Marxisme dan Komunisme atheis terhadap kaum muslimin, Iqbal telah berpesan dalam syaimya, yang berjudul "Apakah seharusnya Dikerjakan oleh Bangsa-bangsa Timur", antara lain berbunyi: "Tetapi hendaklah anda jauhi peradaban atheisme yang selalu dalam pertarungan dengan
pembela-pembela kebenaran. Penyebar firnah itu akan tetap menyebarkan racun dan mengembalikan Lata dan 'Uzza ke tanah suci, hingga hati jadi buta disebabkan pengaruh pesonanya, sedang jiwa akan merana kehausan melihat fatamorgananya. Ia akan mematikan bisikan hati, bahkan akan mencabut hati itu sendiri dari dalam dada, tak ubahnya ia bagai pencuri yang telah terlatih, hingga berani merampok secara terang-terangan di waktu siang bolong, dan akan meninggalkan manusia tiada berjiwa tanpa harga." 26

Jadi, apabila kita perhatikan dengan seksama tentang dasar ke­yakinan dan pandangan hidup Marxisme-Komunisme, maka pena­maan "sosialisme ilmiah" atau "komunisme ilmiah" yang sering dipopulerkan di dalam banyak literatur dan media massa, ternyata hanya tipuan yang memalukan dan pembodohan umat manusia. Bukti-bukti tentang kenaifan dan kerancuan berpikir serta kontradiksi-­kontradiksi yang kita ungkapkan di muka lebih dari cukup untuk berkesimpulan demikian.

Demikian pula, apabila para intelektual muslim masih ada saja yang berpendapat adanya kemiripan antara Marxisme-Komunisme dengan Islam, pada dasarnya mereka itu telah termasuk golongan "yang mata-hatinya, pendengaran dan penglihatannya telah tertutup oleh cahaya kebenaran Ilahi". Apalagi jika mereka masih mau menerima pandangan Marxisme-Komunisme, padahal bukti-bukti telah kita ajukan baik secara agamis, filosofis maupun ilmiah, maka mau tidak mau kita akan menempatkan mereka sama dan sego­longan dengan kaum Marxis-Komunis yang atheis.

Menempatkan orang-orang yang menganut ideologi Marxis-­Komunis --walaupun mereka masih menyatakan muslim-- pada posisi musuh-musuh Islam, adalah merupakan keharusan; karena hal itu ber­titik tolak pada ajaran Islam dan ditopang oleh data dan fakta filosofis dan ilmiah sepanjang sejarah yang telah dilalui oleh ideologi tersebut.

Pada pasal selanjutnya, kita akan mengungkapkan data dan fakta sejarah tentang sikap dan tindakan golongan Marxis-Komunis terhadap Islam dan kaum muslimin di berbagai tempat di muka bumi ini, sejak revolusi komunis meletus di Rusia pada tahun 1917. Data dan fakta historis hanya sekadar menopang bukti kebenaran tentang ideologi Marxis-Komunis adalah senantiasa bermusuhan dan bertentangan diametral yang tak bisa didamaikan dengan Islam, di sepanjang sejarah dan di semua permukaan planet bumi ini.

Karenanya, kaum muslimin yang benar-benar masih mau membuka mata-hatinya, kita harapkan agar segera menyadari tentang bahaya dan ancaman yang ditimbulkan oleh Marxisme-Komunisme.

Sikapnya Terhadap Islam dan Kaum Muslimin

Diantara pengikut-pengikut Marx di Rusia, Lenin (1870-1924) adalah teorikus yang terkemuka di samping juga politikus yang efektif, praktis dan tangkas. Sumbangan Lenin terhadap teori komunisme, barangkali satu-satunya sumbangan yang paling berharga yang diberikannya, terdapat di dalam selebarannya yang berjudul "What Is To Be Done?" (1902). Sebagaimana Hitler melahirkan secara terang-terangan kepada dunia segala rencananya dalam "Mein Kampf", dan baru dipercaya ketika sudah terlambat, Lenin telah mengeluarkan dalam tulisannya suatu rencana yang seksama tentang tujuan-tujuan komunis serta strategi dan taktik untuk mencapainya. Sedianya banyak kesusahan dan kesedihan dapat dielakkan bagi dunia andaikata buah pikiran pokok Lenin lebihluas diketahui dan ditanggapi dengan seksama.

Satu sumbangan Lenin yang terpenting terhadap teori Marxisme-­Komunisme adalah konsepsinya mengenai "kaum revolusioner yang profesional". Marx, yang sedikit banyaknya dipengaruhi oleh rasa hormat abad ke-XIX terhadap kesanggupan manusia untuk berpikir buat dirinya sendiri; berpendapat bahwa kelas pekerja akan mem­perkembangkan kesadaran kelasnya secara spontan, dalam per­juangan sehari-hari untuk kehidupan ekonomi mereka; dan bahwa pimpinan mereka untuk sebagian besar akan berasal dari lingkungan mereka sendiri. Lenin kurang mempercayai akan kemampuan seseorang, walau orang itu termasuk kelas pilihan, yakni proletaris. Kegiatan komunis, demikian pendapat Lenin, harus dilakukan dengan dua cara:

Pertama; kaum pekerja harus membentuk organisasi-organisasi buruh dengan tujuan-tujuan ekonomi sebagai pokok, yang bekerja secara terbuka, sah dan sedapat mungkin secara umum.

Kedua, berdampingan dengan organisasi-organisasi semacam itu, haruslah ada kumpulan-kumpulan kecil "kaum revolusioner profesional", yang diatur menurut organisasi tentara dan polisi, yang paling terpilih dan seluruhnya dirahasiakan.

Lenin tidak ambil pusing apakah kaum revolusioner profesional ini berasal dari golongan proletar atau tidak, selama ia melakukan pekerjaannya dengan baik. Organisasi-orga­rusasi kaum revolusioner profesional harus terpusat betul, demikian Lenin selanjutnya, dan harus senantiasa membimbing dan mengarah­kan dan mengawasi gabungan-gabungan ekonomi yang umum, yang dipimpin oleh kaum komunis, serikat-serikat buruh, koperasi-koperasi dan lain-lain sebagainya. Lenin terutama mengajarkan agar kaum revolusioner profesional melakukan infiltrasi, merembes dan mem­bentuk sel-sel dalam semua badan-badan sosial, politik, pendidikan dan ekonomi masyarakat, baik badan-badan tersebut berupa sekolah­sekolah, gereja-gereja, serikat-serikat buruh, maupun partai politik. Terutama sekali; Lenin menganjurkan agar kaum revolusioner profesional merembes ke dalam angkatan perang, polisi dan pe­merintahan.

Lenin juga dengan jelas sekali menerangkan bahwa kaum ko­munis hendaknya melakukan kegiatan di bawah tanah, sekalipun di tempat di mana partai-partai komunis yang sah diperbolehkan. Kesempatan-kesempatan yang sah harus digunakan sepenuhnya, demikian Lenin; ia secara khusus menganjurkan kepada aktivis ko­munis untuk bekerja melalui organisasi-organisasi front, senantiasa mengubah nama dan petugas-petugas organisasi, tetapi selalu meng­ingat tujuan akhir: merebut kekuasaan secara revolusioner.

Terutama, inti dari golongan revolusioner profesional yang dirahasiakan harus bertanggung jawab dalam memilih dan melatih para calon mata-mata, tukang sabot, dan agen-agen untuk kegiatan-­kegiatan lainnya yang berhubungan dengan tugas dinas rahasia (intelijen), di luar dan di dalam negeri. Ketika nama Gerhart Eisler disebut buat pertama kalinya di Amerika Serikat dalam tahun 1947, namanya yang sebenamya tidak diketahui; tidak saja oleh umum, tapi juga oleh kaum komunis.

Sungguhpun demikian Eisler adalah pemim­pin rahasia kaum komunis Amerika selama bertahun-tahun dan ia bertanggung jawab atas kegiatan-kegiatan partai yang sah dan yang tidak sah. Pemimpin resmi dari partai tersebut Willian Z. Foster, hanya merupakan simbol yang mempunyai tugas utama mengalihkan per­hatian umum dan pemerintah dari pimpinan yang sebenarnya dan kegiatan-kegiatannya. Ketika sebuah komplotan mata-mata terbongkar di Kanada pada tahun 1945, dapat diketahui bahwa sejumlah komplotan rahasia mata-mata komunis, masing-masingnya bergerak terlepas dari yang lain, beroperasi di Kanada, di bawah pimpinan kaum revolusioner profesional, yang kebanyakan hanya sedikit hubungannya dengan kegiatan-kegiatannya dengan partai komunis yang resmi dan sah.

Dari kesaksian yang diberikan oleh bekas-bekas agen komunis teranglah bahwa satu dari hal yang pertama-tama harus dilakukan oleh seseorang calon yang hendak memasuki lingkungan dalam pimpinan komunis yang resmi dan golongan-golongan front, berhenti membaca surat kabar partai, dan menempuh hidup sebagai seorang borjuis tulen dan terhormat. Ada jembatan penghubung antara partai-­partai komunis yang sah dan lingkungan dalam, yaitu mata-mata dan agen-agen dari kaum revolusioner profesional, oleh karena kadang-­kadang agen-agen itu dipilih dari lingkungan partai; akan tetapi yang paling dikehendaki ialah bahwa kedua organisasi itu harus tetap terpisah. Oleh sebab itu apa yang kelihatan sebagai pernimpin umum dari partai-partai komunis adalah hanya front bagi tuan~tuan besar seperti Eisler; orang-orang yang tidak dikenal oleh umum dan kebanyakan malahan juga tidak dikenal oleh pemimpin-pemimpin komunis yang kelihatan, dan yang memberikan laporan langsung ke Moskow.27

Teori Lenin ini sepenuhnya pernah dipraktekkan secara jelas oleh Partai Komunis Indonesia (PKl) semenjak mereka bangkit kernbali tahun 1950. Kegiatan kaum revolusioner profesional yang melakukan infiltrasi ke semua aparat sipil dan militer berhasil secara merata dan baru terbongkar pada coup de'tat kaum komunis (Gerakan
30 September PKI) pada akhir September 1965 yang gagal. Dari data yang terungkap, semua Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, baik Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Kepolisian telah kemasukan kader-kader komunis. Dan di kalangan sipil, Partai Nasional Indonesia (PNI), yang merupakan partai terbesar di Indone­sia, dewan pimpinannya telah dikuasai oleh kader-kader komunis; bahkan Sekretaris Jenderal PNI, Surachman, turut memimpin pemberontakan PKI di Blitar Selatan, Jawa Timur.

Apabila kita pelajari organisasi rahasia (revolusioner professional) yang ditulis oleh Lenin dalam bukunya ini, dan kita hubungkan dengan organisasi rahasia Yahudi Freemasonry seperti yang telah kita kemukakan pada pasal-pasal di muka, maka pola kerjanya adalah sama. Karenanya kita tambah yakin bahwa komunisme secara ideologis dan teoritis mempunyai kaitan yang erat sekali dengan gerakan Yahudi Zionisme internasional.

Selanjutnya, pelarangan terhadap partai komunis bukanlah jaminan atau merupakan jawaban bagi persoalan bagaimana menghadapi komunis; karena inti yang sebenamya dari pimpinan dan kegiatan komunis selalu bergerak di bawah tanah, biarpun undang-undang mengizinkan partai-partai komunis di atas permukaan. Dan karena sedikit banyaknya selalu ada hubungan diantara partai yang sah dengan lingkaran-dalam dari kaum revolusioner professional, dari sudut kontra spionase partai yang bekerja secara sah adalah satu model, biar kecil sekalipun.

Selain dari tulisan "What Is To Be Done?" sebagaimana diuraikan di atas, Lenin pada tahun 1904 menulis satu tulisan yang berjudul "Satu Langkah Maju; Dua Langkah Mundur"; dalam tulisan ini Lenin untuk pertama kali dalam sejarah Marxisme-Komunisme mengolah ajaran tentang partai sebagai organisasi pimpinan daripada proletariat, sebagai senjata terpenting daripada kaum proletar, tanpa itu kemenangan tidak akan tercapai. Di dalam buku ini Lenin memaparkan dasar-dasar organisasi partai komunis.

Dalam tahun 1905, Lenin menulis lagi satu buku yang berjudul "Dua Taktik Sosial- Demokrasi Dalam Revolusi Demokratis", di mana Lenin memaparkan garis baru dalam masalah hubungan antara revolusi borjuis demokrasi dan revolusi sosialis; menguraikan teori baru tentang kekuasaan dan kekuatan di sekitar proletariat, tentang mengakhiri revolusi borjuis untuk perpindahan langsung ke revolusi sosialis. Buku ini memperkaya teori-teori tentang revolusi bagi Marxisme dan meletakkan dasar-dasar untuk taktik-taktik revolusioner daripada Partai Bolsyewik Rusia.

Pada tahun 1916, Lenin menulis tentang "Imperialisme Tingkat Tertinggi Kapitalisme"; di sini Lenin membuat satu analisa Marxis bahwa imperialisme adalah tingkat terakhir daripada kapitalisme yang menuju kehancuran dan sedang sekarat; bahwa imperialisme adalah tahap terakhir menjelang revolusi sosialis. Dalam bukunya ini, ia mengemukakan teorinya tentang kemungkinan kemenangan sosial­isme di satu negara secara sendirian. 1ni berarti menentang teori komunis sebelumnya yang mengatakan bahwa sosialisme hanya bisa menang apabila ada revolusi serentak di semua negeri.

Dalam tahun 1917, Lenin menulis lagi mengenai "Thesis April"; di mana ia menetapkan bagi Partai Bolsyewik suatu rencana perjuangan yang berhasil untuk perpindahan dari revolusi borjuis --demokratis ke revolusi-- sosialis. Dengan rencana ini Partai Bolsyewik berhasil menggulingkan "diktator" Tsar pada bulan Oktober 1917.

Pada tahun 1917 itu pula Lenin menulis tentang "Negara dan Revolusi", di mana ia membentangkan tentang borjuis dari pada pandangan kaum oportunis dan anarkis mengenai soal negara dan revolusi. Lenin menghidupkan dan mengembangkan lebih lanjut teori Marxis tentang negara, tentang revolusi proletar dan tentang diktator proletar, tentang sosialisme dan komunisme.

Dalam tahun 1918, Lenin menulis lagi mengenai "Tugas-rugas Segera dari Pemerintah Sovyet", di dalam tulisan ini ia mengolah masalah-masalah pokok daripada pembangunan sosialis, perhitungan dan kontrol dalam ekonomi nasional, hubungan-hubungan produksi sosialis baru, peningkatan kerja, perkembangan kompetisi sosialis, konsolidasi dan perkembangan kekuasaan proletar, persekutuan kaum buruh dan kaum tani, dan perkembangan demokrasi proletar.

Dalam tahun 1920 Lenin menulis tentang "Komunisme Saya Kiri Suatu Penyakit Kanak-kanak". Di dalam tulisan ini ia membentangkan peranan internasional daripada revolusi Komunis Rusia, tentang sen­tralisasi yang kuat dan tentang disiplin yang sangat keras sebagai salah satu syarat pokok untuk memenangkan komunisme atas bor­juisme, tentang pentingnya belajar dari pengalaman revolusioner borjuis kecil. 28

Sejak meninggalnya Lenin pada tahun 1924, tidak ada tambahan baru atau perubahan terhadap dasar berpikir Marxis-Leninis. Stalin, yang memerintah Rusia dari tahun 1924 hingga meninggalnya tahun I953, adalah lebih kuat dalam soal pemerintahan praktis dan kesang­gupan mengorganisir daripada dalam membuat teori-teori. Kebanyakan dari tulisannya, Stalin tidak lain hanya merupakan ulangan dari keterangan-keterangan Marx dan Lenin, yang disesuaikan dengan kebutuhan sewaktu-waktu pemerintahan diktatornya. Inti kesimpulan Stalin mengenai strategi komunis jangka panjang; yang juga diikuti oleh orang-orang yang menggantikannya sekarang ini, terdapat di dalam konsep mengenai "Empat Ketegangan Pokok" yang terdapat di dunia dewasa ini, yaitu:
- Ketegangan diantara kaum kapitalis dan kaum proletar di mana-­mana;
- Ketegangan diantara negara-negara imperialis dan daerah-daerah jajahan,
- Ketegangan diantara negara-negara imperialis yang saling bersaing;
- Ketegangan diantara negara-negara komunis dan negara-negara kapitalis.

Konsep tentang empat ketegangan pokok ini, yang sama sekali bukanlah sekedar merupakan latihan dalam penggolongan arti menu­rut bahasa, sebab pada hakikatnya mengandung suatu rencana yang jelas bagi strategi dan taktik komunis. Sesungguhnya tidaklah mungkin untuk membuka surat kabar komunis dengan tidak membaca di dalamnya beberapa bukti tentang pemakaian konsep-konsep ini oleh kaum komunis untuk soal-soal politik. 29

Selain dari itu untuk menghadapi masalah agama; kaum komunis telah membuat satu rencana jangka panjang untuk menghabiskan keyakinan agama bagi warganegara di tiap-tiap negara komunis. Sovyet Rusia, sebagai negara raksasa komunis di dunia, telah me­netapkan rencana penghancuran agama di dalam undang-undangnya. Walau di dalam Undang-Undang Dasar Sovyet Rusia pasal 124 dinyatakan antara lain: "Menjaga kemerdekaan beragama bagi semua warganegara"; tetapi di dalam undang-undang hukum pidananya, pasal 122, yang diterbitkan pada tahun 1938 disebutkan sebagai berikut: "…memberikan pelajaran agama di sekolah negeri atau sekolah swasta atau badan-badan pendidikan yang menyerupainya, maka orang-orang yang melakukannya dihukum dengan penjara selama-­lamanya setahun dengan kerja paksa".30

Khusus mengenai Islam, rencana penghancurannya dapat kita lihat dalam Encyclopedia Sovyet Rusia "Bolshaya Sovjet kaya Encyclope­dia", antara lain menulis:
* Agama Islam, sebagaimana agama-agama lainnya, selalu memainkan peranan yang reaksioner, yang dilakukan oleh kelas-kelas pemeras, sebagai satu senjata untuk menindas secara rohani kaum-kaum yang membanting-tulang dan dilakukan oleh penjajah asing untuk mem­perbudak bangsa-bangsa Timur.

* Suatu krisis ekonomi dan sosial sedang tumbuh di kalangan suku-­suku bangsa yang akibatnya ialah perkembangan agama Istam, yang menyebarkan ketidak-adilan sosial dan ekonomi dan sistem pemerasan yang sedang ditegakkan.

* Peninggalan yang besar dari Islam yang mula-mula ialah Al-Qur'an, yang tercantum di dalamnya dasar-dasar dari dogma, kebudayaan dan undang-undang Islam. Dalam mana Allah (Tuhan orang Islam) meramalkan akan datangnya hari kiamat yang cepat, hukuman yang mengerikan dan mengancam orang-orang munafiq yang tidak mengakuinya sebagai Raja Yang Maha Kuasa dengan siksaan-­siksaan neraka.

* Al-Qur'an yang dengan teguh dan tetap mempertahankan perbudakan (menganggap bahwa perbudakan diciptakan oleh Allah) pemerasan, kemiskinan dan ketidak-samaan orang-orang dalam masyarakat, menjadi sanggahan yang terbaik dari pemalsu-pemalsu semacam itu.

* Pengikut-pengikut Muhammad mengakui Mekah sebagai kota yang suci dan Ka'bah sebagai satu-satunya tempat suci, yang ditentukan sebagai tempat untuk menunaikan Haji dan bahkan mereka tetap memelihara penyembahan berhala, penyembahan batu hitam yang tertetak di Ka'bah.

* F. Engels: "Islam satu agama yang disesuaikan dengan bangsa-­bangsa Timur, terutama dengan bangsa Arab, yakni pada satu pihak dengan penduduk-penduduk kota yang berdagang dan berhubungan, dan pihak lainnya dengan suku-suku bangsa Baduwi yang hidup mengembara.

* Al-Qur'an melukiskan manusia itu sebagai hamba Allah tanpa kemauan, yang wajib tawakal dan sabar serta menyerahkan diri kepada Allah, Rasul-Nya dan kepada manusia yang memegang kekuasaan:

* Untuk memperlengkap Al-Qur'an itu, timbullah cerita-cerita orang Islam ialah Sunnah yang terdiri dari banyak hadits-hadits yaitu cerita-cerita yang berisi tindakan-tindakan dan putusan yang katanya dibuat oleh Muhammad.

* Juga syari'at-syari'at yang sangat teliti mengatur semua segi dari kehidupan seorang muslim, telah dikembangkan atas dasar Al-­Qur'an dan Sunnah.

* Di USSR, sebagai akibat dari kemenangan Sosialisme dan hapusnya golongan-golongan yang memeras, akar-akar sosial Islam, sebagai­mana akar semua agama dibinasakan. Di USSR, Islam hidup hanya sebagai sisa-sisa dari bentuk-bentuk dari masyarakat pemeras".31

Dalam pemilihan umum di Rusia yang diselenggarakan pada musim rontok tahun 1917, kaum Bolsyewik (komunis) memperoleh suara kurang-lebih seperempat dari seluruh jumlah suara. Sungguh pun jumlah ini bukan tidak berarti; tetapi kaum Bolsyewik, disebabkan kefana­tikannya dan keaktifannya yang luar biasa, tidak mau menerima
kenyataan bahwa dalam suatu pemilihan umum yang bebas mereka tidak dapat mengharapkan akan menang. Oleh karena itu, dalam bu­lan Nopember 1917, kaum Bolsyewik merebut posisi-posisi kunci di dalam kekuasaan di Moskow, dan dari sana revolusi dijalankan ke seluruh Rusia. Perlawanan terhadap revolusi komunis itu timbul dengan serta-merta di berbagai bagian negeri tersebut, dalam bentuk perang saudara yang berlangsung hingga tahun 1921.

Kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh Perang Dunia I, diiringi oleh kehancuran yang dilakukan oleh Perang Saudara, menyebabkan perubahan sosial tidak bisa dilaksanakan. Lenin cukup realistis untuk melihat bahwa rakyat Rusia benar-benar akan mati kelaparan, apabila prinsip-prinsip komunis dipaksakan pada waktu itu. Sebagai akibatnya, ia meresmikan sebuah Politik Ekonomi Baru dalam tahun 1921 yang membolehkan hak milik perseorangari secara terbatas. Tujuan politik ekonomi ini yang terutama adalah mempertahankan dan menaikan tingkat produksi pertanian, bengkel-bengkel dan pabrik-pabrik dengan jalan mempertahankan faktor-faktor pendorong kapitalis yang lama berupa efisiensi dan keuntungan.

Pelaksanaan Politik Ekonomi Baru selama kurang lebih tujuh tahun memberikan kesempatan bernafsu kepada Rusia, memungkinkan pemimpin-pemimpin komunis yang berkuasa menyusun kekuatan secara efektif dan memberikan kepada rakyat Rusia bayangan palsu sementara bahwa komunisme lebih keras gonggongannya daripada gigitannya. Akan tetapi, dalam tahun 1928 Stalin memutuskan bahwa waktunya telah sampai untuk mem­praktekkan prinsip-prinsip komunis, dan ia menarik kembali kelonggaran-kelonggaran oleh Lenin.

Rencana Lima Tahun Pertama, yang dimulai dalam tahun 1928, terutama bertujuan terlaksananya industrialisasi di Rusia secara cepat, dan kedua menjadikan pertanian satu usaha kolektif. Dalam tahun 1917, awal Revolusi komunis Rusia; banyak kaum tani yang ber­simpati dengan Bolsyewik, bukan karena teori atau ideologinya, akan tetapi karena kaum Bosyewik berjanji untuk memberikan kepada mereka tanah yang mereka dan nenek-moyang mereka kerjakan dan inginkan selama berabad-abad.

Banyak hal yang menyebabkan Stalin memaksakan kolektifikasi atas kaum tani. Pertama, penguasa-penguasa komunis merasa bahwa pertanian akan bertambah dengan jalan mekanisasi, dan bahwa mekanisasi akan dapat lebih mudah dijalankan dengan usaha-usaha pertanian kolektif dan besar-besaran daripada dengan usaha-usaha pertanian kecil yang dimiliki perorangan.

Kedua, pemilihan dan pelak­sanaan usaha pertanian secara perseorangan berarti peningkatan pokok terhadap prinsip-prinsip utama komunisme, yakni semua alat­-alat produksi harus dipindahkan menjadi kepunyaan umum. Kolektifi­kasi akan menyesuaikan pertanian dengan industri, yang dari semula berkembang atas dasar pemilikan dan penyelenggaraan oleh negara.

Ketiga, para penguasa komunis menganggap pemilikan perseorangan atas usaha pertanian, jika diteruskan sebagai suatu rencana langsung, politis dan psikologis, bagi politik totaliter dari pusat. Petani bebas harus dirubah menjadi proletar pertanian terikat, si petani harus be­kerja dengan orang-orang lain, berbicara dengan orang-orang, makan bersama dengan orang-orang lain; sehingga dengan demikian ia dapat lebih mudah diawasi dan diatur.

Sebab lain yang mendorong kolektifikasi ialah perlunya tenaga buruh untuk industri-industri yang baru berkembang di kota-kota; buruh yang diperlukan hanya akan dapat diperoleh dengan jalan mekanisasi di bidang pertanian yang dapat menghemat tenaga kerja manusia. Akhirnya, kolektifikasi mempunyai tujuan militer penting: apabila terjadi peperangan, pertanian-pertanian kolektif harus menjadi inti bagi perlawanan yang teratur di belakang garis-garis pertempuran. Dalam Perang Dunia II; harapan-harapan militer ini untuk sebagian besar terkabul: orang-orang Jerman tidak pernah berhasil sepenuhnya menindas kegiatan-kegiatan gerilya Rusia di belakang garis pertem­puran. 32

Pelaksanaan Kolektifikasi pertanian menimbulkan perlawanan dari kaum tani; para pembangkang ini dimasukkan ke dalam kamp-kamp kerja paksa. Menurut para ahli saperti Dallin dan Nicolousky, menaksir bahwa orang-orang yang dimasukkan kamp-kamp kerja paksa di Rusia, sekitar delapan juta sampai dua belas juta orang. Seorang
anggota dari Pusat Penyelidikan Rusia dari Harvard University mengemukakan berdasarkan statistik-statistik Rusia, diperkirakan bahwa orang-orang yang dimasukkan kamp-kamp kerja-paksa tidak kurang dari sepuluh juta orang.

Dari sernua bukti-bukti yang dapat dipergunakan sebagai indikasi, maka jumlah orang-orang yang dimasukkan kamp-kamp kerja paksa antara sepuluh juta sampai lima belas juta orang. Para penguasa Rusia menyatakan bahwa para kerja-paksa hanyalah orang-orang yang melaksanakan kejahatan. Mereka membantah angka-angka yang di­kemukakan oleh negera-negara Barat, tanpa memberikan angka-­angka resmi dari pemerintah Rusia sendiri. Apabila para pelaku kejahatan itu saja yang dimasukkan kamp-kamp kerja-paksa, maka menurut catatan tidak akan lebih dari 184.000 orang, jadi tidak akan mencapai lima belas juta orang.

Perangkap-perangkap kamp-kamp kerja-paksa tersebar di seluruh Rusia. Peta yang disiapkan oleh Komite Syarikat Pekerja Merdeka dari American Federation of Labor menunjukkan bahwa lebih dari 170 buah kamp-kamp yang diketahui. Kamp-kamp kerja-paksa ini berde­katan dan saling berhubungan dengan proyek-proyek pembangunan yang terkenal, yang memerlukan jumlah kaum pekerja secara besar­besaran. Dengan menggunakan tenaga-tenaga kerja-paksa, maka proyek-proyek industri dan pembangunan dipacu dengan kapasitas yang tinggi, walau harus mengorbankan manusia. Bencana dan mala­petaka mengakibatkan berjuta-juta pekerja-paksa mening­gal dunia. Saksi-saksi mata yang.terdiri para pekerja-paksa yang masih sempat selamat dari bahaya maut, menulis sendiri pengalaman-penga­laman mereka. 33

Bentuk-bentuk perlawanan kaum tani terhadap kolektifikasi, yaitu menyembelih sebanyak mungkin ternak peliharaan, sehingga pada akhir kolektifikasi jumlah ternak menjadi sangat berkurang. Jika jumlah penduduk bertambah 150 juta menjadi 200 juta diantara tahun 1928-1953, maka jumlah ternak sapi berkurang dari 33,2 juta ekor
dalam 1928 menjadi 24,3 juta ekor pada tahun 1953; dan jumlah ternak peliharaan pada waktu itu menurun secara menyolok dari 66,8 juta ekor menjadi 56,6 juta ekor.
Tambahan pula, harga-harga yang rendah yang dipaksakan oleh pemerintah atas hasil-hasil pertanian mendorong banyak kaum tani untuk menanam gandum sedikit mungkin dalam tahun-tahun pertama kolektifikasi, akibatnya kelaparan di mana-mana di Rusia, terutama di Ukraina, dimana perlawanan kaum tani diper­kuat dengan unsur nasionalisme.

Setelah Perarig Dunia II, regim Komunis Rusia, ingin maju selang­kah lagi dengan menggabungkan pertanian-pertanian kolektif, sehingga dengan demikian terbentuklah kota-kota pertanian. Akan tetapi kaum tani kembali mengadakan perlawanan, dan kali ini mereka lebih ber­hasil dari, tahun-tahun 1929-1933; walaupun beribu-ribu pertanian kolektif berhasil dilebur menjadi gabungan-gabungan kolektif yang sangat besar, rencana tersebut secara keseluruhan dilepaskan.

Setelah Stalin meninggal pada tahun I953, pemimpin-pemimpin Rusia, mulai dari Kruschov ke bawah, mengakui di depan umum bahwa politik agraris komunis Rusia telah gagal, dan bahwa pertanian Rusia tidak sanggup memberi makan dengan cukup penduduknya.

Secara psikologis petani Rusia tidak berubah menjadi proletar, seperti yang direncanakan oleh penguasa-penguasa komunis Rusia. Pada tahun-tahun sehabis Perang Dunia II, beribu-ribu kaum tani Rusia dikirim ke Jerman dari daerah-daerah pendudukan Jerman sebagai tenaga buruh paksa untuk usaha-usaha perang Nazi, tetap tinggal di Jerman dan di negara-negara Eropa lainnya, dan menolak untuk kembali pulang setelah mereka melihat penghidupan di negeri-­negeri Barat. 34

Perubahan ekonomi di Rusia telah gagal dalam menyelesaikan persoalan keadilan sosial, padahal perubahan itu mula-mula diadakan seakan-akan untuk maksud tersebut. Selama limabelas tahun pertama berdirinya regim komunis Rusia telah mengadakan perubahan untuk mengurangi perbedaan hingga tingkat yang sedang, akan tetapi dari
pertengahan tahun 1930 hingga selanjutnya, dengan dimulainya "zaman baru" berupa penyingkiran-penyingkiran dari sisa-sisa penguasa sebelumnya, dengan politik komunisme yang baru, upah lebih didasar­kan atas hasil pekerjaan daripada atas ukuran pembayaran sejam yang ditetapkan sebagai standard suatu politik upah yang telah ditentang oleh serikat-serikat buruh di negara-negara bebas selama dua gene­rasi, sebagai suatu regim pengisap yang keluar batas kemanusiaan.

Seruan kapitalis yang telah ditinggalkan zaman yaitu agar produksi yang lebih tinggi diimbangi dengan penghasilan-penghasilan yang lebih tinggi, tetap dipakai oleh regim komunis dengan memberi cap "perlombaan sosial", dan kaum pekerja digerakkan terus untuk men­capai produk yang maksimal dengan semboyan "politik Stakhano­visme", yaitu mengambil nama seorang pekerja tambang batu-bara yang bernama Stakhanov. Sementara perhatian penguasa komunis pada mulanya ditujukan kepada soal-soal distribusi, politik ekonomi Rusia dalam praktek memusatkan perhatian pada produksi. Dorongan penghasilan yang lebih tinggi dan bukan pelayanan terhadap masya­rakat, telah menjadi daya tarik yang utama dari politik sosial dan ekonomi Rusia, dan falsafah mengenai persamaan ditertawakan dan dianggap sebagai "warisan borjuis kecil".

Menurut propaganda resmi Rusia, persoalan kelas-kelas sosial telah diselesaikan dalam masyarakat Rusia, sebab dari sudut pandang­an Marxis, tidak mungkin ada kelas kecuali atas dasar hak-milik perseorangan atas alat-alat produksi.

Teori dan propaganda komunis yang demikian ternyata salah dan fakta-fakta yang terungkap di Rusia menjadi bukti. Di Rusia paling kurang ada 4 kelas yang berbeda, yaitu:

1.      Dalam golongan pertama yang berjumlah beberapa ratus ribu ke­luarga, atau kira-kira sejuta orang; terdiri atas:
a.      pegawai-pegawai pemerintah tertinggi,
b.      pemimpin-pemimpin partai,
c.      opsir-opsir militer,
d.      pemimpin-pemimpin industri,
e.      ahli-ahli ilmu pengetahuan,
f.       kaum artis dan pengarang;

2.      Golongan kedua terdiri dari:
a.      Pegawai-pegawai sipil dan militer tingkat menengah,
b.      Pemimpin-pemimpin pertanian kolektif
c.      Beberapa go­longan pekerja dan tehnisi yang cakap di lapangan industri.

Golongan ini merupakan kelas-kelas dan berjumlah kurang lebih dua sampai tiga juta keluarga;

3.      Golongan ketiga terdiri dari sebagian terbesar penduduk, massa kaum pekerja dan petani, yang berjumlah lebih dari 40 juta keluarga;

4.      Golongan keempat meliputi kaum pekerja-paksa yang berjumlah jutaan orang.

Yang istimewa dari susunan lapisan kehidupan sosial di negara komunis ialah kesenjangan penghasilan diantara berbagai kelas senan­tiasa bertambah jauh, sementara hal ini senantiasa bertambah sempit di negara-negara bebas. Tabel di bawah ini menunjukkan tentang perbandingan skala gaji tentara Rusia dan Amerika Serikat.

Perbandingan skala gaji dalam Angkatan Darat Rusia dan Amerika Serikat.
(Gaji pokok = gaji prajurit II = l).

Pangkat
Rusia
Amerika
Prajurit II
    1
  1
Prajurit I
    1,5
  1,2
Kopral
    3
  1,4
Sersan
    4,3
  1,8
Sersan Mayor
    9
  2,4
Letnan Dua
  16
  2,6
Letnan Satu
  19
  3,1
Kapten
  24
  3,8
Mayor
  30
  4,6
Kolonel
  45
  6,9
Brigadir Jenderal
   --
  9,3
Mayor Jenderal
  68
11,2
Letnan Jenderal
  81
11,2
Jenderal
  96
11,2
Marsekal
114,3
15,2

Ketidak-samaan yang senantlasa meningkat diantara dan dalam lingkungan kelas-kelas di negara-negara komunis, merupakan salah satu sumber dari timbulnya kekacauan dan pemberontakan, seperti yang terjadi di Polandia dan Jerman Timur pada tahun 1953. 35

Kekejaman yang dilakukan oleh regim komunis Rusia terhadap ber­juta-juta petani dalam kamp-kamp kerja-paksa, juga dialami oleh ber­juta juta kaum muslimin yang dapat ditaklukannya. Sebagaimana kita ketahui bahwa bersamaan dengan pemberontakan kaum Botsyewik (komunis) pada bulan Nopember 1917 untuk menumbangkan regim Tsar Rusia, maka umat Islam yang selama ini berada di bawah kekuasaan Tsar pun melakukan pemberontakan dan membentuk peme­rintahan sendiri. Ketika kaum Bolsyewik berhasil menumbangkan regim Tsar, penguasa komunis Rusia yang baru berkuasa itu telah berusaha menipu umat Islam. Lenin sebagai pemimpin regim komunis yang baru berkuasa telah mengeluarkan seruannya kepada umat Islam, yang antara lain berisi:

- Kaum muslimin jangan merasa takut terhadap regim komunis Rusia yang baru berkuasa;
- Regim Komunis Rusia tidak akan melakukan ekspansi ke negeri-­negeri Islam;
- Regim Komunis Rusia mengharapkan bantuan dari negara-negara Islam;
- Regim Komunis Rusia mengulurkan tangan untuk menjalani hu­bungan persahabatan dengan negara-riegara Islam.

Salah satu bentuk seruan regim Komunis Rusia yang dikeluarkan pada tanggal 15 Desember 1917 dan ditanda-tangani bersama Lenin dan Stalin, berbunyi sebagai berikut: "Wahai kaum muslimin! Adat-­istiadatmu, kebiasaanmu, lembagamu, pendidikanmu, sekolah-sekolah kebanggaanmu, adalah bebas dari segala sifat permusuhan. Kamu telah menyusun kehidupan nasionalmu dalam suatu pemerintahan yang didasarkan atas kebebasan dan kemerdekaan. Hal yang demikian itu sesungguhnya hakmu yang penuh. Percaya­lah, hanya kaum Bosyewik yang membelamu. Dan berhak mengadakan pembelaan itu adalah semua rakyat Rusia. Oleh karena itu bantulah revolusi dan tolonglah pemerintah Bolsyewik. Wahai kawan-kawan, dengan mengibarkan bendera kita, kita hanya berniat membuktikan kepada rakyat-rakyat yang tertindas, lambang kebebasan dan kemerdekaan. Wahai kaum muslimin, kami menunggu bantuanmu berupa moral dan material"

Seruan perdamaian dan persahabatan ini dijadikan tameng dan perisai untuk menutupi rencana ekspansi regim komunis Rusia ke negara-negara Islam. Sesuai dengan teorinya, Lenin telah mengirim­kan kader-kader komunis ke negara-negara Islam untuk melakukan gerakan komunis, baik secara terbuka maupun tertutup di bawah permukaan. Kader-kader komunis muda melakukan infiltrasi ke dalam organisasi-organisasi pergerakan Islam, yang saat itu terpecah menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok sekuler model Barat yang dipimpin orang-orang intelektual dan berpendidikan Barat.

Kedua, kelompok fundamentalis yang dipimpin oleh para ulama. Infil­trasi kader-kader komunis berhasil menguasai sebagian dari kelompok pertama. Saat itu kader-kader komunis membentuk organisasi-­organisasi buruh dan tani dengan rnemakai nama Islam atau kedaerahan, dalam usaha menguasai kaum buruh dan kaum tani. Organisasi­organisasi boneka komunis ini melakukan bentrokan-bentrokan fisik dengan kaum muslimin, sehingga memperlemah pemerintahan Islam yang baru berdiri itu.

Dalam kondisi yang demikian, maka pada bulan April 1918, Lenin mengeluarkan perintah kepada Angkatan Bersenjata Rusia untuk menyerbu negara-negara Islam. Pesawat-pesawat tempur, ken­daraan lapis baja menghujani bom-bom dan mengepung negara-­negara Islam seperti Republik Islam Idil-Ural di Kaukasus Utara, Republik Islam Khakan, Krimea dan Turkistan. Pada akhir tahun 1918, pemyerbuan tentara komunis Rusia ini berhasil menguasai negara-negara Islam tersebut kecuali Krimea.

Kemudian dalam tahun 1919 Republik Islam Alaska Ardo di Orenburg jatuh ke tangan pasukan komunis Rusia, yang disusul degan takluknya Republik Krimea pada awal tahun 1920. Pada tanggal 27 April 1920 pasukan komunis Rusia menyerbu dan menguasai Republik Islam Azerbaijan dan Republik Islam Khiva di Turkistan Timur. Dalam tahun 1921 pasukan tentara komunis Rusia melanjutkan penaklukannya ke negeri Republik lslam Bukhara, yang daerahnya berbatasan dengan Argha­nistan. 36

Setelah penyerbuan dan penaklukan, penguasa regim komunis Rusia melakukan tindakan pemusnahan umat lslam dari negeri-negeri Islam. Republik Islam Idil-Ural yang berpenduduk kurang lebih 4.000.000 jiwa, berdasarkan dekrit regim komunis tertanggal 23 Februari 1944, telah menangkap 1.350.000 orang umat Islam dan membuangnya ke daerah Siberia dengan melakukan kerja-paksa. Nasib yang sama juga dialami oleh umat Islam Azerbaijan. Dan yang paling menyedihkan lagi adalah nasib umat Islam dari Republik Islam Krimea, yang semula berjumlah 5.000.000 jiwa, sekarang tinggal hanya 400.000 orang saja lagi. Kebanyakan dari mereka yang hilang itu, disebabkan oleh pembunuhan massal yang dilakukan oleh regim komunis Rusia, dibuang di kamp-kamp kerja-paksa. Sejumlah 90.000 buah masjid, mushalla dan madrasah yang dijadikan kandang-kandang hewan, gedung-gedung bioskop, klab-klab malam, warung-warung kopi dan minuman keras, panggung-panggung sandiwara, gudang-­gudang peluru dan mesiu. Dan ada yang sengaja diruntuhkan dan dihancurkan, sehingga sulit untuk menemukan bekas-bekasnya. 37

Penyiksaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh penguasa komunis Rusia terhadap umat Islam; sebagaimana diterangkan oleh Sekretaris Jenderal Turkistan Timur, antara lain sebagai berikut:

01. Menancapkan paku-paku panjang ke kepala sehingga sampai masuk ke otak;
02. Menggunakan orang-orang tawanan (tahanan) sebagai sasaran-­sasaran peluru dalam pelajaran menembak bagi pasukan tentara komunis (merah);
03. Memasukkan para tahanan ke dalam sel-sel tahanan tanpa diberi makan, minum, udara dan lampu sampai mati;
04. Membakar tawanan dan orang-orang hukuman setelah mereka disiram dengan bensin;
05. Meletakkan topi baja ke kepala para tahanan, kemudian diberi aliran listrik, sehingga mata tercabut keluar;
06. Mengikat kepala para tahanan di satu kendaraan dan kakinya di kendaraan yang lain, kemudian kedua kendaraan itu dijalankan ke arah yang berlawanan, sehingga tubuh orang tahanan tersebut men­jadi terpotong-potong;
07. Membakar seluruh tubuh para tahanan dengan menggunakan besi panas membara;
08. Menuangkan minyak yang sedang mendidih ke tubuh para tahanan;
09. Mencocokkan paku-paku dan jarum jarum ke seluruh tubuh para tahanan;
10. Menyiksa kemaluan para tahanan;
11. Kuku-kuku para tahanan dicabut sampai copot dengan mengguna­kan tang-tang besi;
12. Orang-orang tahanan dipaksa tidur dengan telanjang bulat di atas balok-balok es dengan suhu 40 derajat di bawah nol;
13. Sebuah kunci dililitkan ke dalam rambut kepala para tahanan kemu­dian kunci itu diputar sekuat-kuatnya sehingga kulit kepala menjadi terkelupas seluruhnya;
14. Tubuh para tahanan disikat dengan sikat besi yang tajam, kemudian disiram spiritus;
15. Setetah tubuh para tahanan diikat kuat-kuat, maka dituangkanlah kaustik soda ke dalam mulut, hidung dan telinga;
16. Tangan para tahanan diikat ke belakang, kemudian sebuah batu karang besar dihimpitkan ke punggungnya;
17. Tangan para tahanan diikat dengan tambang, kemudian digantung selama sehari-semalam atau lebih;
18. Tubuh para tahanan dipukul dengan paku tajam secara terus-­menerus sampai tubuhnya bermandikan darah;
19. Menyayat dengan pisau atau pedang tubuh para tahanan;
20. Jari tangan dan jari kaki para tahanan dijahit menjadi satu. 38

Selanjutnya, invasi yang dilakukan oleh pasukan tentara komunis Rusia tidak hanya terbatas kepada negeri-negeri Islam, tetapi juga dilakukan ke negeri-negeri tetangganya yang beragama Kristen. Sejak pecah Perang Dunia II dalam bulan September 1939, Rusia telah merampas daerah-daerah beiikut ini:

01. Polandia Timur;
02. Korelian Finlandia;
03. Lithuania;
04. Latvia;
05. Estonia;
06. Bessarabia dan Bukovia (Rumania);
07. Moldavia (Rumania);
08. Petsamo (Finlandia);
09. Daerah Koeningsberg (Jerman Timur);
10. Karphato - Ukraina (Cekoslovakia);
11. Sachalin Selatan (Jepang);
12. Kepulauan Kuril (Jepang); 39

Watak ekspansionis dan sadisme bukan hanya dimiliki oleh diktator fasis Hitler, ternyata pula dipunyai oleh diktator proletar Stalin. Fakta-­fakta yang terungkap di muka merupakan bukti-bukti yang tak dapat dipungkiri, Stalin yang menjadi pimpinan diktator proletar Rusia sejak 1924-1953 telah menjadi diktator seutuhnya, sehingga teman-temannya terdekat merasa terancam kehidupannya. Pidato rahasia Krushchov, setelah kematian Stalin merupakan fakta yang dapat berbicara sendiri. Pidato Krushchov tersebut antara lain berbunyi:

"Kadang-kadang terjadi, demikian kata Bulganin, bahwa seseorang teman datang kepada Stalin, ia tak tahu kemana ia akan dikirim setelah itu, ke ­rumah atau ke penjara. Bukanlah suatu yang tidak mungkin, bahwa bila Stalin masih agak lama berkuasa, saudara Molotov dan Mikoyan mungkin tidak dapat hadir di sini dan berpidato dalam Kongres ini. Dalam keadaan semacam ini para pahlawan yang telah jatuh menjadi korbari karena kekejaman Stalin jumlahnya sangat banyak. Dengan kode alis yang dinaikkan oleh Stalin terhadap seseorang tahanan, berarti hukuman mati buat orang tahanan tersebut. Stalin, kelihatan­nya mempunyai rencana untuk membunuh semua anggota lama dari Politbiro"40

Dalam bagian lain dari pidato Krushchov itu mengatakan: "Stalin bertindak tidak karena alasan-alasan yang kuat, tidak untuk suatu penjelasan tertentu, tidak dengan kerjasama rakyat, tetapi bertindak dengan memaksakan konsepsinya dan semua orang harus tunduk kepada pendapat-pendapatnya… Dari tahun 1935 sampai tahun 1938
Stalin telah menjalankan penindasan massal melalui alat-alat negara…, pertama-tama ditujukan kepada orang-orang yang dianggapnya lawan politik Lenin, seperti Trotsky dan Zinoviev dan juga golongan Bukharin, yaitu sebelumnya telah tersingkir dari lingkungan elit kekua­saan, kemudian memburu tokoh-tokoh komunis yang jujur. Apakah perlu mereka dibasmi? Kami percaya dan yakin, jika Lenin masih hidup, pembantaian terhadap mereka itu, sebagaimana dilakukan Stalin, tidak perlu terjadi, Stalin yang mempergunakan kekuasaan tak terbatas, mengizinkan dirinya sendiri untuk melakukan tindakan-tindakan di luar batas kemanusiaan dengan mengatas-namakan Komite Pusat Partai Komunis tanpa menanyakan pendapat Komite atau Politbiro tersebut. Dari 140 anggota dan kandidat Komite Pusat Partai Komunis yang dipilih dalam Kongres ke-17 pada tahun 1934, sejumlah 98 orang yang berarti 70% dari jumlah anggota dan kandidat Komite Pusat, telah dibunuh dan dipenjarakan terhadap dirinya…, ia memperlihatkan kesombongan yang luar biasa. Dalam menulis auto biograpinya, Stalin senantiasa menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat yang memuji dirinya sendiri. Bahkan ia secara terang-terangan menyatakan bahwa ia tidak akan membiarkan usaha-usahanya dihambat atau dihalang­-halangi".41

Watak ekspansionis dan sadisme yang diperankan oleh diktator Stalin, sebenarnya merupakan watak dari semua diktator proletar komunis di mana-mana di muka bumi ini. Republik Islam Turkistan Timur yang berpenduduk 13 juta jiwa/orang, pada tahun 1949 telah dicaplok oleh penguasa komunis Republik Rakyat Cina (RRC) di bawah pimpinan Mao Tse Tung, dan merubah nama daerah muslim tersebut menjadi "Singkiang". Komposisi penduduk di Turkistan Timur (Singkiang) secara radikal berubah semenjak regim komunis Cina menjajah negeri itu dengan jalan memindahkan orang-orang Hans Cina komunis ke tempat tersebut. Perubahan komposisi penduduk semen­jak tahun 1949 sampai dengan 1983 dapat dilihat di bawah tabel ini:

    
Kelompok Etnis
1949
1983
Uighur (Muslim)
75%
46%
Kazaks (Mislim)
10%
  6%
Turkis (Mislim)
 5%
  1%
Hans (Cina non Muslim)
 5%
45%
Dugans (Cina Muslim)
 3%
  1%
Lain-lain
 2%
  1%

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa penduduk muslim menurun secara drastis dari 90% pada tahun 1949 menjadi 45% pada tahun 1953, sementara penduduk Cina Hans (non muslim) bertambah dengan pesat dari 5% pada tahun l949 menjadi 45% pada tahun 1983. Jumlah ini akan meningkat terus, karena regim komunis Cina terus-menerus memin­dahkan penduduk Cina Hans ke daerah ini.

Methoda untuk melenyapkan umat Islam di Turkistan Timur, meniru metoda yang dilakukan oleh regim komunis Rusia. Para pemimpin politik dan agama ditangkap, dimasukkan ke kamp-kamp kerja-paksa atau dibunuh. Seluruh posisi-posisi pemerintahan dikuasai oleh Cina Han yang komunis. Pada masa kampanye tentang "Commune", tanah-­tanah penduduk dirampas, malahan simpanan persediaan pangan yang ada juga dirampok oleh pemerintah komunis serta pasar-pasar ditutup. Kaum muslimin dipaksa bekerja untuk "commune" di bawah penga­wasan petugas partai komunis yang kejam dan sadis. Jam kerja rata-rata antara 8-10 jam sehari dengan upah yang sangat murah. Mereka yang dianggap membangkang ditangkap dan dima­sukkan ke kamp-kamp kerja-paksa.

Usaha-usaha untuk melenyapkan agama Islam di Turkistan Timur, tetah dilakukan oleh regim komunis Cina secara sistimatis, dan memuncak pada masa "revolusi keaudayaan" model Mao Tse Tung yang dilakukan dalam tahun 1966-1967.Tindakan-tindakan pelenyapan Islam, antara lain:

1. Menutup masjid-masjid di seluruh desa Turkistan Timur;
2. Masjid-masjid dan lembaga-lembaga Islam yang ada di kota-kota diambil alih oleh pemerintah komunis dan dijadikan kantor partai komunis, asrama, rumah-rumah potong hewan dan lain-lain;
3. Mahkamah Qadhi yang didirikan sejak tahun 1933-1934 semasa Republik Islam Turkistan Timur berkuasa, diubah dan digantikan menjadi Pengadilan Rakyat;
4. Semua kitab suci Al-Qur'an dan Al-Hadits serta semua buku-buku agama dimusnahkan;
5. Pendidikan agama Islam di sekolah dilarang;
6. Huruf Arab yang selama ini menjadi huruf resmi kaum Muslimin diganti dengan huruf Cyriclic dan Latin;
7. Para imam masjid ditangkap, dimasukkan ke kamp-kamp kerja ­paksa dan atau dibunuh.

Selama regim komunis Cina berkuasa di kawasan ini, tercatat tidak kurang 360.000 muslim yang telah dibunuh; lebih dari 100.000 muslim dipaksa pindah ke Turkistan Barat dan 504.000 muslim yang dikirim ke sepuluh tempat kamp-kamp kerja-paksa. 42

Apabila negara-negara Kristen Barat seperti Inggeris, Perancis dan Amerika Serikat telah menciptakan negara boneka Israel di dunia Islam di Timur Tengah, maka regim komunis Rusia telah pula menciptakan negara boneka komunis di Afghanistan sejak tahun 1972, dan menjadi pusat pembantaian kaum muslimin di Asia.

Pada tahun 1953, Dhahir Shah, Raja Afghanistan mengangkat sepupunya, Muhammad Daud memangku jabatan Perdana Menteri, yang merangkap jabatan Menteri Pertahanan dan Luar Negeri. Daud adalah kader komunis, yang dibina oleh Rusia bersama-sama Taraki, Hafidullah dan Babrak Kamal. Daud menjabat Perdana Menteri selama sepuluh tahun sampai saat ia metakukan coup de'tat pada butan Juli 1972, menjungkirkan raja Dhahir Shah. Coup de'tat yang sepenuhnya didalangi regim komunis Rusia, bertugas untuk mendiri­kan negara boneka komunis Rusia di Afghanistan.

Masa jabatan Daud sebagai pimpinan tertinggi regim komunis Afghanistan berjalan sejak Juli 1972 sampai 27 April 1978, dianggap oleh Rusia kurang berhasil, walau telah mampu membantai 600 orang tokoh-tokoh Islam. Sebab perlawanan kaum muslimin, yang mula-mula dipimpin oleh Prof. Gholam Muhammad Niazi dan kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh muda Islam seperti Burhanuddin Rabbi, Abdu Rabbi Rasuli Sayaf, Hikmat Yar dan Habibur Rahman, makin meluas dan merakyat, yang digerakkan oleh satu organisasi yang bernama "Jam'yah al-Islamiyah", yang kemudian berubah menjadi "Al Hizbul Islam", yaitu gerakan bersenjata.

Dengan alasan itu, Rusia mendongkel Daud dengan membantai­nya bersama-sama keluarganya, dan mengangkat Taraki sebagai pimpinan tertinggi regim komunis Afghanistan pada bulan April 1978. Untuk membuktikan kesetiaannya kepada Rusia, Taraki mengeluar­kan undang undang yang sangat bertentangan dengan hukum Islam, yang telah berlaku beratus-ratus tahun; membunuh 15.000 kaum muslimin, merampas harta benda kaum muslimin, menggantikari pendidikari agama di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi dengan ajaran komunis. Rakyat diwajibkan untuk mengikuti penataran-­penataran mengenai komunisme.

Tindakan dan kekejaman Taraki mengundang reaksi keras kaum muslimin Afghanistan. Ulama mengeluarkan fatwa: "Mengutuk dan mengkafirkan Taraki, serta mewajibkan perarig (jihad) melawan kekuasaannya dan menggulingkannya".

Fatwa ulama menimbulkan semangat jihad yang luar biasa sehingga seluruh umat lslam Afghanistan bangkit untuk melawan regim komunis Taraki dan Rusia. Dengan fatwa ulama ini kaum muslimin merebut daerah Herat. Daerah ini kemudian dijadikan tempat Muktamar umat Islam Afghanistan, yang dihadiri tidak kurang dari 100.000 kaum muslimin. Di saat muktamar berlangsung, regim komunis Taraki menyerbu dengan menggunakan kekuatan militer maksimal, darat dan udara, dan berhasil membunuh 30.000 umat lslam.

Tragedi Herat ini tidak mematahkan semangat dan perlawanan kaum muslimin, malah menambah tingginya ruhul jihad, sehirigga banyak dari tentara Taraki, seperti Brigade Zabie,. Brigade Amir, dan Brigade Nahrain membelot dan bergabung dengan para mujahidin.

Dengan bergabungnya tentara ke dalam pasukan mujahidin bertambah kuatlah perlawanan kaum muslimin dalam menghadapi regim komunis Taraki.

Taraki berusaha menekan dan menghancurkan pasukan mujahidin dengan jalan membantai 200.000 kaum muslimin, tetapi perlawanan malah tambah menjadi-jadi. Akibatnya Rusia menyingkirkan Taraki yang dianggapnya tak mampu mengendalikan keadaan, dan meng­gantikannya dengan Hafidullah Amin.

Amin membuat perjanjian kepada umat Islam, bahwa pembantaian kepada umat Islam akan dihentikan. Janji Amin ini untuk sementara dapat meredakan keadaan, tetapi tiga bulan kemudian pasukan muja­hidin bangkit kembali secara intensif menghancurkan regim komunis Amin. Bersamaan dengan itu tentara komunis Rusia sebanyak 100.000 orang pada tanggal 27 Desember 1979, melakukan invasi ke Afgha­nistan menggulingkan regim Hafidullah Amin dan menggantikannya dengan Babrak Kamal. Walau Rusia telah mengerahkan 100.000 tentaranya untuk menumpas pasukan mujahidin, ternyata tidak mampu dan tidak berhasil, malah pasukan mujahidin tambah hari tambah kuat. Padahal Rusia tiap hari tetah mengeluarkan biaya antara 40-60 juta dollar Amerika.

Dalam kondisi demikian, akhirnya Rusia mengajak Amerika Serikat untuk merundingkan masalah Afghanistan, agar Rusia bisa keluar dari sana dengan selamat dan terhormat, dan mereka tidak menginginkan pasukan mujahidin memegang tampuk kekuasaan di Afghanistan. Kerjasama Rusia dan Amerika Serikat menelorkan kesepakatan bahwa Raja Dhahir Shah, boneka Amerika Serikat, yang pemah digulingkan oleh Daud, yang sekarang berada di Roma, boleh kembali berkuasa. Keputusan Rusia-Amerika Serikat ini disampaikan kepada Dhahir Shah di Roma, dan serentak ia mengadakan konferensi pers, serta berucap: "Mujahidin Afghanistan mengundang saya untuk ber­tahta lagi di Afghanistan". Tetapi keterangan pers Dhahir ini langsung dijawab oleh Sayyaf, pimpinan pasukan mujahidin Afghanistan, dengan kata-kata: "Kami akan sambut kedatangan Dhahir di lapangan terbang dan langsung akan kami penggal kepalanya".

Untuk menghadapi strategi dan taktik Rusia-Amerika Serikat dalam melumpuhkan pasukan mujahidin, maka pada tanggal 9 Sya'ban 1402/22 Mei 1983, pimpinan-pimpinan dari tujuh organisasi perlawanan umat Islam, yaitu:

1. Al Ittihad al Islami: pimpinan Saiyaf;
2. A1 Hizbul Islam: pimpinan Hikmat Yar;
3. A1 Jam'iyah al Islami: pimpinan Rabbani;
4. Al Hizbul Islam: pimpinan Yunus Khalis; ­
5. Jabhat al Inqilab al Islami: pimpinan Rafi'ullah;
6. Jabhat al lnqilab al Islami: pimpinan Nashrullah;
7. Jabhat Najati Mali : Pimpinan Muhammad Mei,

Mereka memfusikan organisasi-organisasinya menjadi satu organisasi tunggal yaitu "Persatuan Mujahidin Islam Afghanistan" dengan pim­pinan Abdu Rabbani Rasul Saiyaf sebagai Ketua Umum dan Komandan Tertinggiriya. 43

Sebagai gambaran kemajuan pasukan Mujahidin dalam menghadapi regim komunis Afghanistan dan Rusia, seperti yang dilaporkan Biro Kebudayaan Persatuan Mujahidin Islam Afghanistan, tercatat bahwa hasil pertempuran antara pasukan Mujahidin melawan tentara komu­nis Afghanistan dan Rusia selama satu tahun saja yaitu Oktober 1981 sampai Oktober 1982, adalah sebagai berikut:

1.      Pasukan Mujahidin melancarkan serangan sebanyak 824 kali dengan kerugian di pihak Mujahidin:
a.      sejumlah 1.856 mujahidin menjadi syuhada;
b.      sejumlah 391 mujahidin menderita tuka-luka.

2.      Pasukan tentara komunis Afghanistan dan Rusia melancarkan serangan sebanyak 149 kali dengan kerugian di pihaknya:
a.      sejumlah 2.048 buah kendaraan lapis baja hancur;
b.      sejumlah 1.128 buah kendaraan militer hancur;
c.      sejumlah 33.129 tentara Afghanistan dan Rusia mati terbunuh;
d.      sejumlah 1.272 tentara luka-luka;
e.      sejumlah 2.289 tentara tertawan;
f.       sejumlah 772 pucuk senjata hancur;
g.      sejumlah 3.692 pucuk senjata dirampas oleh pasukan Mujahidin;
h.      sejumlah 18 buah kendaraan lapis baja yang masih utuh dan baik dirampas pasukan Mujahidin;
i.        sejumlah 58 buah kendaraan miiiter dalam keadaan baik dirampas oleh pasu­kan Mujahidin. 44

Walaupun kekalahan demi kekalahan telah dialami oleh pasukan komunis Afghanistan dan Rusia, tetapi regim komunis Moskow terus mengirimkan pasukannya ke Afghanistan, sehingga sekarang ditaksir telah mencapai 200.000 orang. Dengan sistem bumi hangus, mengakibatkan kaum muslimin Afghanistan banyak yang mengungsi ke Pakistan dan diperkirakan tidak kurang dari sejumlah 3.000.000 orang; sedangkan yang mengungsi ke Iran lebih dari 1.000.000 orang. Nasib 4.000.000 pengungsi Afghanistan yang merupakan jumlah pengungsi terbesar di dunia; adalah sangat menyedihkan dan mengharukan.

Kondisi militansi pasukan mujahidin Afghanistan terlihat dari ung­kapan pasukan tentara komunis Rusia yang berbunyi: "Bangsa Afghanistan tidak bisa mati; upaya kami untuk menumpas mereka sulit sekali". Tetapi sebaliknya pernyataan pasukan Mujahidin berkata dengan lantang: "Senjata Rusia tak dapat menghabisi dan tak mampu mengalahkan kami". Dr. Abdullah Azam dalam wawancaranya dengan para Mujahidin, dari anak yang berumur 11 tahun sampai kakek-kakek berumur 104 tahun, berkesimpulan bahwa keyakinan dan ruhul jihad begitu tinggi untuk berjuang menegakkan hukum Allah tegak di bumi Afghanistan dan bersedia mengorbankan segala-galanya termasuk jiwa dan raga.

Oleh karena itu, tidak aneh apabila ada seorang pengamat Barat, berkebangsaan Amerika, berucap di TV Amerika Serikat sebagai be­rikut: "Bangsa Afghanistan akan menang melawan Rusia, kemudian pengaruh Islam akan melanda Rusia, kemudian Eropa dan Amerika. Setelah itu Amerika, Rusia dan Eropa akan beraliansi menghadapinya".

Barangkali memang sulit untuk menjumpai suatu bangsa seperti Afghan, yang mempunyai watak sederhana, kemahiran perang merupakan kepandaiannya, hidup keras dan terhormat menjadi kebiasaannya. Para ahli perang Barat hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat banyaknya rakyat muslim Afghanistan yang ber­sedia menjadi pasukan mujahidin; karena sekitar l.000.000 orang tanpa gaji dan jaminan hidup, mampu hidup dengan makan buah-­buahan hutan dan daun-daunan selama berbulan-bulan, sambil memanggul senjata, menyerang musuh, mempertahankan jiwa dan membelinya dengan mati syahid.

Dalam medan pertempuran yang dahsyat dan kejam, karena tentara Komunis Rusia mengerahkan semua persenjataan yang mutakhir, pasukan Mujahidin Afghanistan, hampir tak pemah meninggalkan shatat malam, bermunajat kepada Allah; luar biasa!

Oleh sebab itu pasukan Mujahidin senantiasa mendapatkan pertolongan Allah SWT yang apabila dianalisa secara rasional tidak mungkin terjadi. Mana mungkin pasukan Mujahidin, yang semula hanya terdiri dari beberapa ratus orang dengan persenjataan yang sangat sederhana mampu menghadapi tentara regim komunis dari sejak Daud (1972) yang ditopang sepenuhnya oleh tentara komunis Rusia (negara adidaya) yang menggunakan senjata yang mutakhir, kalau bukan pertolongan Allah? Pasukan Mujahidin yang bermula hanya beberapa ratus orang sekarang telah berkembang dan memiliki anggota sejumlah 1.000.000 (satu juta) orang, dari persenjataan beberapa pucuk saja, sekarang telah memiliki ratusan kendaraan lapis baja, senjata-senjata otomatis, meriam-meriam dan roket, yang semuanya hasil rampasan dari tentara komunis Afghanistan dan Rusia.

Bahkan sekarang, bumi Afghanistan hampir 80%-nya terbebas dari kedaulatan pemerintah regim komunis Afghanistan. Charles Down Bar, Kuasa Usaha Kedutaan Besar Amerika Serikat di Kabul, pada bulan Mei 1983 diwawancarai oleh wartawan US News and World Report, antara lain menyatakan: "Sesungguhnya pemerintah Kamal cuma mengurus administrasi saja. Sulit buat saya memperkirakan pemerintahannya dapat bertahan lama. Kaum Mujahidin di daerah yang dikuasainya mampu menyelenggarakan sekolah dan menye­lenggarakan pemerintahan, dan kontak antar daerah yang dikuasainya dengan rapi. Persenjataan mereka bertambah baik, mereka dapatkan itu dengan merampas dari tentara Rusia dan Kamal. Pemerintah
Kamal seperti keranjang bolong, diberi senjata oleh Moskow, jatuh ke tangan Mujahidin. Sekarang basis-basis Mujahidin jaraknya tak lebih 5 km dari Kabul…" Francois Mitterand, Presiden Perancis berkata: "Afghanistan bagaikan penyakit kanker di tubuh Rusia, makin lama makin melalap tubuhnya".45

Najibullah, penguasa regim komunis Afghanistan, yang pada awal Mei 1986 berhasil menjungkirkan Babrak Kamal, telah sesumbar akan melakukan pembersihan terhadap pasukan Mujahidin secara besar-­besaran, ternyata tidak berjalan sebagaimana rencana semula. Dengan tambahan 56 pesawat jet pembom Rusia jenis MiG 22, 23 dan 25, Najibullah mengerahkan hampir 3.000 tentara Afghanistan dan Rusia menggempur pangkalan-pangkalan kaum Afghanistan selama dua minggu, yaitu sejak tanggal 7-12 Mei 1986.

Semula menurut rencana penggempuran terhadap basis Mujahidin paling tidak akan dilakukan sedama 4 minggu; sehingga tentara komunis Afghanistan dan Rusia telah membangun 6 buah kamp sementara di sekitar daerah itu. Tetapi secara mendadak penggempuran itu dihentikan, dan pasukan tentara komunis meninggalkan daerah itu, menuju pos-pos mereka di sebelah Barat. Pengunduran diri pasukan komunis ini, karena tidak mampu menghadapi serbuan pasukan Mujahidin yang diperkirakan sekitar 4.000 orang di daerah itu dengan menggunakan roket-roket secara efektif, sehingga menimbulkan banyak korban yang jatuh di kalangan tentara komunis Afghanistan maupun Rusia.

Kekalahan yang diderita tentara komunis selama dua minggu di daerah ini, mengakibatkan Najibullah merubah taktik dengan bermuka manis terhadap kaum Mujahidin. Dalam pidatonya pada tanggal 20 Mei 1986 di depan kepala-kepala suku yang berpandangan Marxis, Najibullah menghimpun kaum Mujahidin untuk mengakhiri peperangan dengan jalan damai secara terhormat. Kepada para pengungsi Afghanistan, yang dewasa ini diperkirakan berjumlah hampir 4.000.000 jiwa, diharapkan segera kembali ke Afghanistan secara damai.

Sikap permusuhan dan tindakan yang kejam secara sadis terhadap kaum muslimin yang dilakukan oleh regim komuriis baik Rusia, Cina maupun Afghanistan, sebagaimana terungkap di muka, adalah meru­pakan watak setiap regim atheis sepanjang sejarah. Allah SWT telah menetapkan fakta sejarah ini di dalam Kitab Suci-nya (Al-Qur'an), yang membentangkan peristiwa regim atheis Fir'aun di dalam menghadapi Nabi Musa a.s. Watak itu tergambar dengan jelas di dalam Al-Qur'an, antara lain yang tertuang di dalam Surat Asy-Syu'ara (26) ayat 41-51 yang berbunyi:

Maka tatkala ahli syihir datang dan bertanya kepada Fir'aun, "Sesungguhnya ganjaran apakah yang dapat kami terima, seandai­nya kami menang?"

Ia menjawab: "Betul! kamu akan menjadi orang-orang kesayanganku."

Musa berkata kepada mereka, "Lempar­kanlah apa-apa yang kamu hendak lemparkan!" Lalu mereka lempar­kan tali-tali tongkat-tongkat milik mereka, sambil berkata: "Demi kekuasaan Fir'aun, sesungguhnya kami, pasti menang."

Kemudian Musa melemparkan tongkatnya maka tongkat itu menelan semua sihir yang mereka adakan. Lantas spontan para ahli sihir merendah­kan diri dan bersujud, sambil berucap: "Kami beriman kepada Tuhan Pemilik Alam Semesta. Tuhan Musa dan Harun."

Berkata Fir'aun, "Kamu telah beriman kepadanya sebelum aku meng­izinkannya. Sesungguhnya ia (Musa) adalah pemimpin kamu yang telah mengajarkan kamu sihir. Kamu akan merasakan segala resiko­nya nanti. Sesungguhnya aku akan memotong tangan-tangan dan kaki-kaki kamu secara bersilang dan aku akan menyalibkan kamu semua."

(Mereka para ahli sihir) menjawab : "Tidak soal! Karena sesungguhnya kepada Tuhan kamilah, kami akan kembali. Se­sungguhnya kami sangat mengharap, bahwa Tuhan kami akan mengampuni dosa-dosa kami, sebab kami termasuk orang-orang yang pertama-tama beriman."

Apabila kita teliti dengan seksama sejarah Fir'aunisme dan kita cocokkan dengan latar belakang sejarah, pandangan hidup dan sikap Marxisme terhadap umat Islam (Umat Tauhid), maka mau tidak mau kita akan berkesimpulan bahwa Fir'aunisme adalah Marxisme­-Komunisme secara hakiki. Persamaan-persamaan asasi antara Fir'aunisme dengan Marxisme-Komunisme, yaitu atheisme, diktatorial, dan sadisme adalah begitu mencolok, walau bagi para pengamat yang tidak teliti sekalipun.

Sebagaimana Musa menghadapi Fir'aun, dimana ia tidak dalam posisi berbahaya, sampai akhirnya Fir'aun dan regimnya hancur. Demikian pula kaum muslimin tidak akan lemah dan berhenti meng­hadapi Marxisme-Komunisme, walaupun keadaannya, sampai Marxisme-Komunisme lenyap dari permukaan planet bumi ini. Ke­kuatan politik, ekonomi, militer yang dimiliki oleh kaum komunis, se­hingga mereka menjadi salah satu negara adidaya, bukan halangan buat umat Islam untuk meraih kemenangan, dan menghancurkan mereka.

Perang Afghanistan antara pasukan Mujahidin melawan tentara komunis di Rusia adalah merupakan indikasi bahwa kekuatan aqidah (iman kepada Allah), yang merupakan kekuatan spiritual yang paling tinggi ternyata lebih ampuh dan lebih kuat daripada kekuatan senjata dan ekonomi dan ilmu. Selama hampir 17 tahun pasukan Mujahidin berperang melawan pasukan Komunis Afghanistan dan Rusia, terbukti kekuatan pasukan Mujahidin tiap hari bertambah ke­kuatannya, baik manpower maupun persenjataannya serta daerah yang.dikuasainya.

Perang Afghanistan adalah merupakan contoh yang dapat diterap­kan oleh kaurn muslimin di mana saja mereka berada di dalam mereka menghadapi Komunisme.

Sekarang marilah kita lihat sepintas konfrontasi Marxisme dan Komunisme dengan Islam dalam sepintas sejarah Indonesia. Sarekat Dagang Islam (SDI) didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 di Solo; kemudian pada tanggal 10 September 1912 dalam rapatnya di Surabaya, SDI telah mengubah dirinya menjadi Sarikat Islam (SI). Per­kembangan SI pesat sekali, sehingga Muktamar yang pertama pada tanggal 26 Januari 1913 telah mempunyai anggota lebih dari 12.000 orang. Tampilnya HOS Cokroaminoto, Agus Salim dalam SI mempercepat berkembangnya SI, hampir di seluruh nusantara.

Tetapi kehadiran organisasi Indische Social Democratisch Vereeniging (ISDV) yang beraliran Marxis-komunis, yang dipimpin H.J.F.M. Sneevleit dan A. Bars pada tahun 1914 menjadi mala­petaka bagi SI. Sebab ISDV telah berhasil menyusupkan kader-kader nya seperti Darsono menjadi pengurus SI Semarang dan Semaun menjadi pengurus SI Surabaya. 46

Kemajuan SI memang luar biasa, sebab Muktamar pada tanggal 17-2l Juni 1916 di Bandung telah dihadiri oleh l6.000 orang peserta yang mewakili 800.000 anggotanya dari Jawa, Sumatera, Bali dan Sulawesi. 47

Kemajuan yang dicapai SI tidak membawa kekuatan untuk mampu melaksanakan semua program perjuangannya; karena infiltran Marxis-komunis telah memulai aksinya, seperti Darsono dan Semaun melakukan intrik memecah belah, dari mulai aksi menfitnah menuduh pimpinan SI menyelewengkan uang partai oleh Darsono sampai mosi tidak percaya terhadap pimpinan SI yang dilakukan oleh Semaun. Aksi kader-kader Marxis-Komunis didalam SI tambah semarak, setelah ISDV pada tanggal 20 Mei 1920 mengganti namanya menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Aksi-aksi kader Marxis-Komunis yang makin berani, maka pim­pinan SI mengadakan Muktamarnya di Surabaya pada tahun 1921 dan behasil memecat kader-kader Marxis-Komunis. Tapi akibatnya SI pecah, karena banyak cabang-cabang SI telah kemasukan ideologi Marxis-Komunis seperti Semarang, Solo, Salatiga, Sukabumi dan Bandung. 48

Dalam menghadapi gerakan SI ini, maka PKI mengadakan Kongres pada tanggal 24-25 Desember 1921, dan memutuskan bahwa cabang-­cabang SI yang telah dikeluarkan harus membentuk SI Merah sebagai tandingan SI Putih (SI asli).

Sekembalinya Semaun dan Darsono dari Moskow, maka pada tanggal 4 Maret 1923 diselenggarakan kongres gabungan antara PKI dan SI Merah di Bandung, yang dihadiri oleh l6 cabang PKI dan 14 cabang SI Merah. Pada tanggal 6 Maret 1923, kongres luar biasa di Sukabumi memutuskari SI Merah menjadi "Sarekat Rakyat" yang langsung di bawah PKI.

Gerakan yang menggebu-gebu melahirkan berbagai aksi huru-hara oleh PKI dan Sarekat Rakyat pada akhir tahun 1926; akibatnya PKI dan Sarkat Rakyat dilarang oleh penguasa kolonial Belanda. 49

Pada tanggai 3 Juli 1947 Amir Syarifuddin (kader Marxis-Sosialis dan Ketua Pemuda Sosialis-Pesindo), berhasil menyusun Kabinet di bawah pimpinannya. Masyumi tidak turut dalam Kabinet Syarifuddin ini. Tetapi Syarifuddin berhasil memecah-belah Masyumi, dengan jalan mengangkat Wondoamiseno (salah seorang pimpinan Masyumi) dari unsur SI (PSII) menjadi salah seorang Menteri dalam Kabinetnya. Kemudian diikuti oleh Arudji Kartawinata, juga dari unsur SI yang keluar dari Masyumi.

Kabinet Hatta terbentuk pada tanggal 29 Januari 1948, mengganti­kan kabinet Syarifuddin. Kabinet Hatta ditentang oleh golongan Marxis dan Komunis. Pesindo di bawah pimpinan Amir Syarifuddin, yang selama ini berkuasa telah dipersenjatai, ditopang oleh organisasi-­organisasi beraliran Marxis-Komunis yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR), melakukan aksi demonstrasi dalam menentang kabinet Hatta di Solo; akibatnya terjadilah bentrok senjata antara Pesindo dengan Siliwangi; Pesindo kalah; tetapi FDR melaku­kan aksi pemogokan di sekitar Solo, khususnya di perkebunan milik negara seperti perkebunan kapas Delanggu. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Perekonomian dalam Kabinet Hatta :tidak membiarkan aksi mogok FDR untuk melumpuhkan perekonomian RI, maka ia me­merintahkan Serikat Tani Islam Indonesia (STII) anak organisasi Masyumi untuk mengambil alih semua tenaga buruh perkebunan di perkebunan-perkebunan milik negara. Akibat lanjutannya STII bentrok dengan SOBSI, SARBUPRI, LBT milik golongan Marxis-Komunis.

Tampilnya kekuatan STII dan Masyumi dalam menentang gerakan buruh tani golongan Marxis-Komunis, bukan saja berhasil me­matahkannya, tetapi berarti Kabinet Hatta disokong sepenuhnya oleh umat Islam. Hal ini sangat penting karena pada tanggal 18 September 1948, Muso, Amir Syarifuddin dan Setiadji melakukan pemberontakan di Madiun menentang pemerintah RI, yang dikenal dengan pem­berontakan PKI-Madiun. Karena anggota STII dan Masyumi yang paling depan menentang golongan Marxis-Komunis ini, maka para pemberontak PKI-Madiun membunuh secara massal dan sadis semua anggota STII dan Masyumi yang tertangkap oleh mereka. 50

Lahirnya konsepsi Soekarno yaitu Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, pada dasarnya adalah srategi PKI. Sebab sejak sidang pleno ke-7 Central Committe PKI bulan November 1958 telah mengusulkan masalah tersebut kepada Presiden Soekarno. Bahkan secara kongkrit PKI mengusulkan agar Soekarno mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945. Dengan terlaksananya "Konsepsi Soekarno"; maka berarti ia akan menjadi penguasa tunggal, yang sejak awal lahirnya konsepsi tersebut secara terbuka telah merangkul PKI dengan penuh semangat. 51

Setelah dekrit berjalan, Soekarno maju selangkah untuk menerap­kan gagasan-gagasannya dalam bentuk pidato yang berjudul "Penemu­an Kembali Revolusi Kita", yang diucapkan pada tanggal 17 Agustus 1959. Pidato ini diberikan kepada Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang dipimpin D.N. Aidit (Ketua Umum PKI) untuk dijadikan bahan dalam menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam kesempatan ini PKI (melalui Aidit) memasukkan konsepsinya yang terkenal dengan nama "Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia" (MIRI) ke dalam GBHN dengan nama Manifesto Politik RI. Antara MIRI-PKI dengan GBHN-MANIPOL hampir-hampir tidak ada perbedaan yang berarti. 52

Sekarang benar-benar PKI telah menjadi tulang punggung kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh Soekarno. Melalui intrik PKI, Soekarno membubarkan partai Islam Masyumi dengan surat Keputusan Presiden No. 200 tanggal 17 Agustus 1960, dengan dalih Masyumi terlibat dengan pemberontakan PRRI. 53

Pembubaran Masyumi ini memang benar-benar konspirasi antara PKI dan Soekarno, terlihat dari pembicaraan antara Bernhard Dahm dengan Soekarno pada tahun 1966, setelah terjadinya G30S/PKI. Dahm bertanya: "Mengapa Anda tidak melarang PKI?" Soekarno menjawab: "Engkau tak dapat menghukum suatu partai secara keseluruhan berdasarkan kesalahan segelintir orang". Setelah men­dengar jawaban itu, Dahm lantas mengemukakan bahwa ia (Soekarno) pernah berbuat begitu terhadap Masyumi pada tahun 1960. Soekamo lalu menjelaskan bahwa Masyumi merusak perjalanan revolusi kami, sedangkan PKI merupakan ujung tombak (avant garde) dari kekuatan-­kekuatan revolusioner.54

Kemudian bubarnya Masyumi tahun 1960 dan GPII tahun 1963, tidak menyebabkan umat Islam diam dalam menghadapi kekuatan Marxis-Komunis. Pelajar Islam Indonesia (PII) yang lahir pada tanggal 4 Mei 1947 tampil ke muka menentang PKI. PII dengan selebaran gelapnya mencoba menyudutkan PKI dan menyadarkan rakyat bagaimana bahayanya PKI. Selebaran gelap yang berbunyi antara lain: "Nyono, Aidit dan Marxisme"; "Bahaya Subversi PKI", "Jiwa para Pemimpin PKI" bertebaran dalam jumlah puluhan ribu eksemplar.

Oleh karena itu, tidak heran apabila PII telah menjadi sasaran PKI untuk dihancurkan. Di dalam dokumen penting PKI yang terungkap pada akhir 1964, menyatakan bahwa PKI adalah musuh yang harus dihadapi secara khusus. Dan untuk itu, IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) ormas pelajar PKI diharuskan untuk menghadapinya dengan sungguh-sungguh. 55

HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang juga merupakan salah satu organisasi pemuda Islam yang anti komunis, menjadi bulan-­bulanan untuk dihancurkan. Aidit (Ketua Umum CC PKI) di depan Kongres Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) pada awal September 1965, telah menyatakan, apabila CGMI tidak mampu membubarkan HMI lebih baik pakai sarung saja. 56 Pernyataan Aidit ini disambut dengan "Demonstrasi perang" oleh PII dan HMI di depan Front Nasional dan KOTRAR pada tanggal 19 September 1965. Dengan semboyan "Langkahi mayatku sebelum membubarkan HMI".

Berkat lindungan Soekarno, akhirnya PKI melakukan kudeta G30S/ PKI dengan jalan membunuh tujuh orang jenderal Angkatan Darat pada tanggal 30 September 1965. Dan akibatnya PKI dibubarkan!

Sikap Muslim Terhadap Komunisme

l. Sikap Dasar

Untuk menghadapi rencana, strategi dan taktik golongan Komunis (kafir), Allah SWT telah memberikan garis-garis kebijaksanaan yang harus dan wajib dilaksanakan oleh kaum Muslimin dalam menentu­kan sikap dan langkah-langkahnya. Landasan utama yang menjadi pedoman untuk menentukan garis-garis kebijaksanaan itu tertuang di dalam Firman Allah SWT pada surat Al-Fath (48) ayat 29, yang ber­bunyi:

"Muhammad itu adalah Rasul Allah dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan berkasih sayang terhadap sesama mereka."

Muhammad Ali Shabuni mengomentari ayat ini sebagai berikut: "Yang dimaksud dengan Muhammad Rasul Allah adalah seorang rasul yang bernama Muhammad dan ia benar-benar seorang rasul dan tidak sebagaimana yang dikemukakan oleh orang-orang kafir musyrik. Dan orang-orang yang bersamanya adalah para sahabatnya, yang
merupakan orang-orang pilihan, yang senantiasa bersikap keras ter­hadap kaum kafir dan berkasih sayang di antara sesama mereka. Hal ini konsisten dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah (5) ayat 54, yang berbunyi:

"Yang lemah lembut sesama mukmin, yang bersikap sombong terhadap orang-orang kafir".

Abu Su'ud menyatakan pengertian ayat ini sebagai berikut: "Mereka tampilkan sikap keras dan tegar terhadap orang-orang yang menentang agama mereka; dan orang-orang yang sepaham dan sependapat di dalam Islam, mereka bersikap kasih-sayang dan merendahkan diri". Para ahli tafsir berpendapat: "Hal yang demikian itu karena perintah Allah kepada mereka umat Islam untuk bersikap keras/sombong ter­hadap mereka orang-orang kafir".57

Bertitik pangkal dari pengertian ayat ini, maka kaum Muslimin harus mempunyai sikap dasar yang pasti, yang berlaku di sepanjang zaman dan di setiap tempat di permukiman bumi ini. Sikap dasar itu adalah "keras dan tegar" terhadap golongan kafir (komunis). Manifestasi sikap dasar ini harus tergambar dan tercermin dalam bidang-bidang sebagai berikut:

2. Bidang Aqidah

Sebagaimana kita ketahui bahwa semua Nabi dan rasul yang di­utus oleh Allah SWT ke tengah-tengah umat manusia, dari sejak Adam As. sampai dengan Muhammad SAW mempunyai risalah pokok yang sama, yang tidak pernah berubah yaitu permurnian aqidah "tauhid" dari segala bentuk syirik, yang jelas atau yang sinkritis; baik dalam bidang tauhid rububiyah maupun tauhid uluhiyah.

Selanjutnya, pengertian pemurnian aqidah tauhid tidak hanya dilarangnya mempersekutukan Allah dengan tuhan-tuhan imajiner, yang dianggap memiliki kekuatan dan kekuasaan, yang berada di luar diri manusia, tetapi juga anggapan adanya kekuatan dan kekuasaan yang ada pada diri manusia seperti akal, intuisi dan kemauan yang ber­watak sebagai hawa nafsu, yang dijadikan sumber kebenaran dan ajaran yang wajib ditaati. Produk dari akal, intuisi dan kemauan bisa berbentuk filsafat, mistik dan ilmu pengetahuan, yang kemudian berkembang menjadi ideologi atau ajaran seperti Komunisme. Larang­an mensyarikatkan Allah dengan hawa nafsu manusia tertera pada firman Allah SWT dalam surat Al-Furqan (25) ayat 43 yang berbunyi:

"Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya."

Maududi memberi penjelasan ayat ini sebagai berikut: "Pengertian 'ilah' (tuhan) pada ayat ini, bukan kekuatan dan kekuasaan alam, tetapi kekuatan dan kekuasaan dalam diri manusia sendiri (akal, intuisi dan hawa nafsu), dimana ia telah dianggap sebagai sesuatu yang men­jadi sumber ajaran (ideologi) sendiri, sehingga semua produknya harus ditaati, sebagaimana golongan Yahudi dan Kristen yang telah mengangkat pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai 'ilah' (tuhan)".

Dalam sebuah hadits Turmudzi dan Ibnu Jarir dari 'Ady bin Hatim, berbunyi: "Bahwa Ady masuk ke rumah Rasululah SAW sedang di lehernya ada kalung salib dari emas. Beliau sedang mem­baca ayat ini. Aku berkata: 'Mereka tidak menyembah mereka; beliau menjawab: 'Benar, tetapi mereka telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, maka kepatuhan mereka itulah berarti penyembahan (ibadah) terhadap mereka'…"

Kesimpulannya yaitu bahwa syirik tidak hanya berlaku dalam menyekutukan Tuhan dengan benda-benda lainnya, tetapi juga termasuk syirik barangsiapa yang mempunyai kepercayaan dan kepatuhan terhadap ajaran, hukum dan undang-undang buatan manusia, dan bukan ajaran, hukum dan undang-undang Tuhan, dengan keyakinan bahwa ajaran, hukum dan undang-undang itu lebih baik.58

Untuk kepentingan kemurnian tauhid, yang mempunyai pengertian seperti tersebut dimuka, maka umat Islam harus bersikap keras dan tegas terhadap ajaran dan ideologi kaum Komunis (kafir). Sikap itu harus lahir dalam bentuk:

a. Tidak boleh membenarkan ajaran dan ideologi tersebut; dan bahkan kaum Muslimin wajib menyatakan kekeliruan dan kesalahan ajaran dan ideologi yang demikian itu secara tegas dan jelas, dalam bentuk lisan maupun tulisan, di hadapan mereka maupun di hadapan kaum Muslimin.

b. Tidak boleh menerima dan mempergunakan ajaran dan ideologi yang lahir dari golongan Komunis (kafir). Karena Islam itu sendiri adalah satu-satunya sistem hidup yang lengkap dan sempurna, yang tidak memerlukan ajaran atau ideologi lain, baik sebagai sistem maupun subsistem kehidupan kaum Muslimin.

3. Bidang Sosial

Dalam bentuk kehidupan sosial dan kemasyarakatan, pergaulan antara seseorang Muslim dengan orang Komunis (kafir) dibatasi oleh suatu ketentuan-ketentuan yang tegas dan jelas, yaitu antara lain tidak dibenarkan seseorang kafir dijadikan teman kepercayaan, orang kesayangan oleh seorang Muslim. Larangan itu antara lain tertuang di dalam firman Allah SWT pada surat Ali Imran (3) ayat 118-120, yang berbunyi:

"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu jadikan se­bagai teman kepercayaan selain dari golongan kamu (mukmin); mereka tidak putus-putusnya (berusaha) mendatangkan kecelakaan atas kamu; mereka suka akan hal-hal yang dapat menyusahkan kamu; sesungguhnya kebencian yang keluar dari mulut mereka telah nyata, tetapi yang disembunyikan dalam hati mereka adalah lebih besar. Kami terangkan tanda-tanda mereka kepadamu, jika kamu mau berfikir."

Kemudian dalam kerjasama untuk tolong-menolong, bergotong-­royong antara kaum Muslimin dengan golongan kafir di dalam ke­hidupan masyarakat, umat Islam harus tunduk pada kriteria-kriteria Islam dalam menentukan bentuk-bentuk kerjasama itu. Sebab, tidak semua kegiatan dan aktifitas di dalam masyarakat dapat dilakukan kerjasama antara kaum Muslimin dengan golongan kafir. Ada kegiatan-kegiatan di mana umat Islam dapat ikut bersama-sama, ada pula aktifitas-aktifitas di mana umat Islam tidak boleh melakukannya. Kriteria-kriteria itu terbagi dalam dua kelompok, yait:

a. Kegiatan yang bernilai "kebajikan dan ketaatan" kepada Allah ('alal birri wa taqwa); kaum muslimin dibolehkan untuk melaku­kan kerjasama dengan golongan kafir.

b. Kegiatan yang bernilai "dosa dan permusuhan" ('alal itsmi wal 'udwan) kaum Muslimin dilarang ikut kerjasama untuk melakukannya.

Ketetapan ini tertuang di dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah (5) ayat 2, yang berbunyi:

"Dan hendaklah kamu bertolong-tolongan atas kebajikan dan taqwa dan janganlah kamu bertolong-tolongan atas dosa dan per­musuhan, dan takutlah kamu kepada Allah, karena sesungguhnya Allah itu sangat keras siksa-Nya."

4. Bidang Politik

Posisi kunci untuk melakukan kebijaksanaan dan kegiatan politik terletak pada faktor pimpinan. Betapapun baiknya konsepsi dan teori-­teori politik, baik yang tertera di dalam undang-undang dasar, undang-­undang dan peraturan-peraturannya, apabila pelaksanaannya yakni para pemimpin politiknya buruk, maka akan sia-sialah konsepsi dan teori-teori yang baik itu. Karena demikian pentingnya posisi pimpinan ini di dalam kehidupan politik, maka Islam menyoroti masalah ini dengan sangat tajam dan jelas, dan tidak boleh sembarang orang bisa jadi pemimpin politik. Pimpinan politik yang disoroti oleh Islam ini adalah semua pimpinan yang mempunyai posisi-posisi penting di dalam kehidupan politik baik eksklusif, legislatif maupun yudikatif.

Salah satu faktor yang sangat penting dalam pimpinan politik ini yaitu larangan mengangkat orang-orang kafir menjadi pemimpin kaum Muslimin. Banyak ayat-ayat yang membicarakan masalah ini, antara lain:

- Surat Ali Imran (3) ayat 28, 149.
- Surat An-Nisa (4) ayat 144.
- Surat Al-Maidah (5) ayat 51, 57.
- Surat At-Taubah (9) ayat 23.
- Surat Al-Mumtahanah (60) ayat l.

Firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah (5) ayat 57, berbunyi: "Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu ambil mereka menjadi pemimpin yang menjadikan agama kamu sebagai ejekan dan permainan, yaitu dari ahli kitab yang sebelum kamu dan orang-orang kafir; dan takutlah kepada Allah jika betul kamu orang-orang yang beriman."

Pengertian ayat ini menurut Muhammad Ali Syabuni ialah: "Janganlah kamu jadikan musuh-musuh agama, yaitu mereka yang menghina dan memperolok-olok agama kamu, untuk menjadi pemimpin atau teman; yakni mereka itu adalah orang-orang Yahudi, Kristen dan orang-orang kafir seluruhnya. Kamu senang dan mencintai mereka, padahal mereka musuh kamu. Barangsiapa yang menghina dan merendahkan agama, tidak dapat dibenarkan menjadikan mereka pemimpin kamu. Malah wajib kamu murka dan memusuhi mereka." 59

5. Sikap Permusuhan

Selanjutnya, sikap permusuhan yang ditampilkan dalam bentuk ucapan, tulisan dan perbuatan oleh golongan Komunis (kafir) ter­hadap Islam dan kaum Muslimin, mengakibatkan putus rasa cinta dan kasih sayang umat Islam kepada mereka, walaupun mereka itu mempunyai hubungan kekeluargaan, bangsa dan tanah air. Cinta dan kasih sayang kaum Muslimin terputus secara otomatis kepada setiap orang yang memusuhi Islam dan kaum Muslimin, walaupun mereka itu bapaknya sendiri, anaknya sendiri, saudaranya sendiri, familinya sendiri atau bangsanya sendiri.

Sikap tegas dan keras dengan jalan memutuskan hubungan cinta kasih terhadap setiap orang atau golongan yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, yang juga berarti memusuhi Islam dan kaum Muslimin, bersumber dari antara lain firman Allah SWT dalam surat Al-Mujadilah (58) ayat 22, yang berbunyi:

"Tidak akan kamu dapati kaum yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir itu akan mencari orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, walaupun mereka itu adalah bapak-bapak mereka sendiri atau anak-anak mereka sendiri atau saudara-saudara mereka sendiri atau keluarga mereka sendiri."

Penutup

Dari uraian yang cukup panjang, tergambar dengan jelas bahwa Komunisme/Marxisme-Leninisme adalah sistem ideologi yang di­susun asal jadi, sehingga unsur-unsurnya saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Akibatnya, penerapan Komunisme di negara-­negara Komunis, bukan saja gagal dalam mewujudkan "syurga di dunia", "masyarakat sama-rasa sama-rata", tetapi malah membawa malapetaka: pembunuhan, kerja paksa, ketakutan dan kelaparan.

Selanjutnya, secara pasti Komunisme/Marxisme-Leninisme di semua dimensi bertentangan diametral dengan Islam. Karenanya sikap dan rasa permusuhan antara kaum Komunis dengan umat Islam berjalan di sepanjang sejarah tanpa henti.

Wassalamu'alaikum wr. wb.

Jakarta, 13 Safar 1421 H  (17 Mei 2000)

Abdul Qadir Djaelani
Anggota Komisi I DPR RI
----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lampiran

Keputusan Kongres Alim Ulama Seluruh Indonesia Di Palembang
Tanggal 8 s/d 11 September 1957

Setelah mendengar dan membahas secara mendalam ideologi/ajaran Komunis, mengambil kesimpulan sebagai berikut:

l. Ideologi/ajaran Komunisme dalam lapangan falsafah berisi atheisme, anti Tuhan dan anti agama.

2. Ideologi/ajaran Komunisme dalam lapangan politik adalah anti demokrasi (diktatur proletariat/istibdad).

3. Ideologi dan ajaran Komunisme dalam lapangan sosial menganjurkan pertentangan dan perjuangan klas.

4. Ideologi/ajaran Komunisme dalam lapangan ekonomi menghilangkan hak perseorangan.

5. Ideologi/ajaran jang demikian itu bukan saja berlawanan dengan ajaran Islam pada khususnya dan agama-agama lainnya pada umumnya akan tetapi merupakan tantangan dan serangan terhadap hidup keagamaan umumnya.

Memutuskan

1. Ideologi/ajaran Komunisme adalah kufur hukumnya, dan haram bagi ummat Islam menganutnya.

2. Bagi orang yang menganut ideologi/ajaran Komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, kafirlah dia dan tiada sah menikah dan rne­nikahkan orang Islam, tiada pusaka mempusakai dan haram jenazahnya diselenggarakan secara Islam.

3. Bagi orang yang memasuki organisasi/partai yang berideologi Komunisme (PKI, Sobsi; Pemuda Rakyat dll) tidak dengan keyakinan dan kesadaran sesatlah ia dan wajib bagi ummat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut.

4. Walaupun Republik Indonesia belum menjadi negara Islam, namun haram hukumnya bagi ummat Islam mengangkat/memiliki kepala negara/pemerintah yang berideologi Komunisme.

5. Memperingatkan kepada Pemerintah RI agar bersikap waspada terhadap gerakan aksi subversif asing yang membantu perjuangan kaum Komunis/atheis Indonesia.

6. Mendesak kepada Presiden RI untuk mengeluarkan dekrit menyatakan PKI dan mantel organisasinya sebagai partai terlarang di Indonesia.

DAFTAR CATATAN KAKI

1Ignace Lepp, Atheisme Dewasa Ini (terjemahan), Shalahuddin Pres, Yogyakarta, 1985, hal. 63-64.

2Ibid., hal. 65-66.

3Ali Syari'ati, Kritik Islam atas Marxisme (terjemahan), Mizan, Bandung, 1983, hal. 112-113.

4Ibid., hal. 114-117.

5Ignace Lepp, op.cit., hal. 67-70.

6Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam (terjemahan), Bulan Bintang, Jakarta, 1966, hal. 203.

7Ignace Lepp, op.cit., hal. 78.

8Ali Syari'ati, Kritik Islam atas Marxisme, op.cit., hal. 126.

9Achmad Rustandi dkk., Islam, Marxisme, Liberalisme, Nasionalisme, Uninus, Bandung, 1970, hal. 39-42.

10M. Rasyidi, Islam Menentang Komunisme, SCI, Jakarta, 1965, hal. 15

11Ali Syari'ati, Kritik Islam atas Marxisme, op.cit., hal. 82.

12Majalah TEMPO, Jakarta, 27 Desember 1980, hal. 23.

13M. Rasyidi, Islam Menentang Komunisme, op.cit., hal. 18-21.

14Ali Syari'ati, Kritik Islam atas Marxisme, op.cit., hal. 93.

15Achmad Rustandi dkk., op.cit., 64-65.

16Ali Syari'ati, Kritik Islam atas Marxisme, op.cit., hal. 68-72.

17William Ebenstein, Isme-isme Dewasa Ini (terjemahan),Swadaya, Jakarta, 1963, hal. 5-9.

18Ali Syari'ati, Kritik Islam atas Marxisme, op.cit., hal. 80-82.

19Muhammad Qutb, Islam the Misunderstanding Religion, Ministry of Awqaf, Kuwait, 1964, hal. 137.

20William Ebenstein, op.cit., hal. 12-15

21Ibid., hal. 16-17.

22Ali Syari'ati, Kritik Islam atas Marxisme, op.cit., hal. 144-153.

23Ibid., hal. 126-138.

24Ibid., hal. 157-170.

25 Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Nabi, Bina Ilmu, Surabaya, 1980, hal. 278-279.

26 An-Nadwi, Pertarungan Alam Pikiran, op.cit.,  hal. 80-81.

27William Ebenstein, op.cit., hal. 26-28.

28D.N. Aidit, Lenin dan Indonesia, Majalah Bintang Merah, Jakarta, Maret-April, 1960, hal. 100-102.

29William Ebenstein, op.cit., hal. 28-29.

30Sayid Qutb, Beberapa Studi Tentang Islam) (terjemahan), Media Da'wah, Jakarta, 1981, hal. 260-261.

31Bolshaya Sovestskaya, Encyclopedia, jilid 18, hal. 616-619.

32William Ebenstein, op.cit., hal. 41-43.

33Roger N. Baldwin, Perbudakan di Dunia Komunis (terjemahan), Front Anti Komunis, Bandung, tanpa tahun,  hal. 26-27.

34William Ebenstein, op.cit., hal. 44-45.

35Ibid.,  hal. 47-49.

36Nur Muhammad Khan, Di Bawah Bendera Palu Arit (terjemahan), Manar, Jakarta, 1956, hal. 54-57.

37Ibid.,  hal. 54-57.

38Ibid.,  hal. 70-72.

39William Ebenstein, op.cit., hal. 70-72.

40Louis Fisher, Sekali Lagi ke Rusia (terjemahan), Endang, Jakarta, 1957, hal. 92.

41Ibid.,  hal. 96-97.

42Mazi Yunus, Muslim di Bawah Kekuasaan Komunis Cina, Suara Masjid, Jakarta,  no. 138, Maret 1966, hal. 83-86.

43Abdullah Azzam, Perang Afghanistan (terjemahan), Gema Insani Press, Jakarta, 1986, hal. 55-67.

44Abdullah Azzam, Ayatur Rahman fi Jihadil Afghan (terjemahan), Al Khandak,  Kuala Lumpur, 1985, hal. 203.

45Abdullah Azzam, Perang Afghanistan, op.cit., hal. 73-78.

46A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat, Dian Rakyat, Jakarta, 1997, hal. 13.

47Ibid.,  hal. 6.

48Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, LP3ES, Jakarta, hal. 136-142.

49A.K. Pringgodigdo, op.cit., hal. 26-33.

50Onghokham, Pemberontakan Madiun, dalam PRISMA, LP#ES,  Jakarta, 1978, hal. 65-69.

51Sakirman, Apa Arti Sokongan Kepada UUD 1945 dan Demokrasi Terpimpin, dalam "Bintang Merah", Jakarta, Mei-Juni, hal. 324-330.

52Nugroho Notosusanto, Konsensus Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, 1985, hal. 3.

53Subagio I.N., K.H. Masykur, Gunung Agung, Jakarta, 1982, hal. 203-207.

54Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1980, hal. 112.

55S.J. Imawan, Dokumen-dokumen Gestapu, Srana Dwipa, Padang, 1966, hal. 12-19.

56Fakta-fakta Persoalan G30S/PKI, PUSPENAD, Jakarta, Oktober 1965, hal. 145.

57Muhammad Ali Shabuni, Shaffwah al Tafsir, Daar al Quran al Kariem, Beirut, 1981, III,  hal. 227-228.

58Abul A'la Maududi, Ibadah an Agama (terjemahan), Bina Ilmu, Surabaya, 1983, hal. 16-17.

59Muhammad Ali Shabuni, op.cit., hal. 351.


Intel Siapkan Prosesor Tablet Segarang PC

Catatan Herva - Intel dikabarkan sedang menyiapkan versi baru yang lebih hemat daya dari prosesor desktop Core-i Generasi Ketiga atau populer dipanggil "Ivy Bridge".

Menurut sumber yang dikutip oleh Cnet, prosesor baru itu nantinya akan memiliki konsumsi daya 10 watt atau kurang sehingga memungkinkan terciptanya tablet Windows 8 yang lebih ringan dan mampu menjalankan aplikasi Windows standar.

Kecuali tablet Surface Pro yang belum diluncurkan, kebanyakan tablet -atau perangkat mirip tablet- Windows 8 berukuran 10 dan 11 inci yng beredar saat ini menggunakan prosesor Intel Atom Z2760. Meskipun hemat daya, chip ini tertinggal dalam hal kinerja dari prosesor desktop seri Core-i Generasi Ketiga,

Sementara itu, alternatif lain seperti prosesor berbasis ARM pada tablet Surface milik Microsoft tak bisa menjalankan aplikasi Windows standar.

Prosesor Core i5 yang kini dipakai laptop tipis MacBook Air dan Ultrabook pun masih mengkonsumsi daya yang terlalu tinggi, yaitu sebesar 17 watt.

Nah, prosesor "Ivy Bridge" yang lebih hemat daya ini rencananya akan memberikan kompromi yang ideal. Dengan prosesor tersebut, para produsen hardware diharapkan bisa membuat tablet Windows 8 yang tak hanya tipis dan ringan, tapi juga kencang dan mampu menjalankan aplikasi Windows standar.

Intel sendiri belakangan memang menjadikan efisiensi pemakaian daya pada prosesornya sebagai fokus utama. September lalu, perusahaan ini mengumumkan bahwa penerus Ivy Bridge ("Haswell") yang bakal dirilis tahun depan akan memiliki konsumsi daya sekitar 10 watt dan lebih rendah.

Di Masa Depan, "Upgrade" PC Makin Sulit ?

prosesor Intel Core Generasi ke-4, akan mulai tersedia pada 2013. Belum jelas apakah prosesor ini masih menggunakan socket LGA atau tidak.
Catatan Herva - Selama tiga puluh tahun terakhir, prosesor pada PC desktop menggunakan kemasan socket berupa chip terpisah yang dipasangkan pada motherboard. Dengan cara ini, prosesor PC bisa diperbarui (upgrade) asalkan memiliki jenis socket yang sama dan didukung oleh motherboard yang bersangkutan.

Pada platform Intel, mulai prosesor Core i generasi pertama digunakan socket tipe LGA (land grid array) dengan jumlah pin dari 775 buah hingga 2011 buah pada prosesor high-end terbaru.

Namun, sebuah bocoran roadmap yang dipublikasikan oleh situs Jepang PCWatch mengungkapkan bahwa di masa depan ada kemungkinan prosesor PC tak akan lagi datang dalam kemasan socket, melainkan disolder langsung ke motherboard.

2-640x470
(Gambar: pc.watch.impress.co.jp)

Kemasan ini menggunakan mekanisme kontak Ball Grid Array (BGA) di mana kaki-kaki chip disambungkan langsung pada papan PCB, mirip dengan chip GPU pada kartu grafis PC dan chip pada modul RAM.

Dengan begini, ukuran form factor PC bisa diperkecil. Harga yang harus dibayar adalah tidak adanya opsi upgrade CPU karena chip yang bersangkutan tertanam permanen di motherboard.

Melalui upgrade, seorang pengguna bisa membangun sistem secara bertahap dengan membeli prosesor murah terlebih dahulu, misalnya Core i3-3220 (3,3 GHz), baru kemudian beralih ke prosesor yang lebih kencang seperti Core i7-3770K (3,5 GHz, quad core) jika ada dana.

Hal tersebut tidak mungkin dilakukan apabila komputer masa depan beralih menggunakan kemasan BGA.

Seperti diketahui, penjualan PC desktop belakangan mengalami penurunan sementara perangkat mobile terus tumbuh. Intel selaku produsen prosesor PC terbesar pun mengambil langkah-langkah antisipasi dan bergerak ke arah embedded platform yang antara lain mensyaratkan penggunaan daya rendah.

Apabila nantinya menjadi kenyataan, seperti tampak dalam gambar roadmap, kemasan BGA terlihat sejalan dengan visi Intel untuk mendorong arsitektur x86 miliknya menuju konsumsi daya yang lebih hemat.

Di kubu yang berseberangan dengan Intel, belum ada tanda-tanda bahwa AMD akan mengambil langkah serupa, itupun kalau gambar roadmap Intel ini memang mewakili kenyataan yang sebenarnya.
http://goo.gl/BGVrJP

MY Motto

My photo
giving amenity to all visitor.

Total Pageviews